A.
Islam
dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan
Islam adalah
agama yang membawa perubahan yang besar serta mendunia bahkan terkenal si
deluruh dunia. Islam diturunkan untuk memberikan atau mengajarkan sesuatu hal
yang baru. Islam sudah sejak lahir telah memberikan perhatian yang besar
terhadap berkembangnya ilmu. Islam yang diturunkan dengan ilmu pengetahuan
saling berkaitan dan tak ada pertentangan. Dalam pembahasan ini yang kita
singgung adalah pada bagian ilmu pengetahuan. Ilmu pegetahuan yang dalam islam
disebut ‘ilmu sedangkan orang barat menyebutnya knowledge. Dalam system
epistemology manapun tidak akan tertinggal suatu pertanyaan yang pokok untuk
menentukan suatu pengetahuan.
Pertanyaan itu ada dua, dimana kedua pertanyaan
ini saling melengkapi, pertanyaan yang pertama adalah apa yang dapat kita
ketahui, dan yang kedua adalah bagaimana mengetahuinya. Untuk menjawab kedua
pertanyaan itu perlu diuraikan bahwa pertanyaan pertama adalah pertanyaan yang
isi dari jawabannya mengenai teoro dan isi dari pada ilmu. Sedangkn yang kedua
adalah metodologi[1].
Sangat berbeda
adanya antara muslim atau orang islam dalam memandang ilmu dan orang barat
dalam memandang ilmu, pandangan orang barat dalam menilai ilmu pengetahuan
mengatakan bahwa semua hal yang dapat kita ketahui adalah segala sesuatu yang
sejauh ia dapat diobservasi secara indrawi. Selama pengetahuan yang bersifat
indriawi dalam artian nyata, maka hal seperti inilah yang disebut ilmu
pengetahuan, sedangan yang bersifat nonindriawi, nonfisik dan metafisika tidak
termasuk objek ilmu pengetahuan, karena tidak dapat diketahui secara ilmiyah.
Dalam pandangan
muslim atau islam, mereka berpendapat bahwa kita bisa mengetahui bukan hanya
objek-objek fisik melainkan juga objek-objek nonfisik, seperti konsep-konsep
mental dan metafisika. Disamping entitas-entitas fisik, demikian tidak mustahil
untul mengetahui makhluk-makhluk halus, seperti jin malaikat dan ruh.
Dari pola pikir seperti inilah,
epistemology islam telah berhasil menyusun ”klasifkasi ilmu” Yang komperhensif
dan disusun secara herarkis. Yaitu:
Metafisika
(menempati posisi tertinggi
)
Matematika (menempati
posisi kedua )
Ilmu-ilmu fisik (menempati posisi terahir)[2].
Dari trikotomi
seperti itu lahir berbagai disiplin ilmu rasional dalam dunia islam, seperti:
1.
Ontolagi
|
2.
Teologi
|
3.
Kosmologi
|
4.
Angeologi
|
5.
Eksatologi
|
|
Dan yang termasuk kedalam ilmu-ilmu
metafisika diantaranya:
1.
Geometri
|
2.
Aljabar
|
3.
Aretmatika
|
4.
Music
|
5.
Trigonometri
|
|
Sedangkan yang
termasuk ilmu matematika, fisika, kimia, geologi, geografi, astronomi, optika,
dan sebagainya yang termasuk ilmu-lmu fisik[3].
Untuk menangkap
atau mengetahui objek-objek daripada ilmu dapat kita menggunakan tiga metode
yaitu metode obserfasi(bayani), metode logis atau demonstrative(burhani), dan
yang ketiga adalah metode intuitif (‘irfani), dimana ketiga metode memiliki
cirri khusus, ketiga metode tersebut akan diuraikan pada sup bab selanjutnya.
Epistemology
dapat diartikan sebagai filsafat ilmu pengetahuan, yakni filsafat mengenai cara
mengetahui kebenaran. Al-Jabiri membedakan pemikiran yang berkembang di dunia
Islam menjadi Timur (Masyriq) dan Barat (Maghrib).
Ia mengkritik model epistemologi yang berkembang di wilayah Arab-Islam (Timur)
yang bercorak bayani-irfani. Sedangkan, model epistemologi terbaik
menurutnya yaitu seperti yang pernah dikembangkan di wilayah maghrib –
secara khusus yang dimaksudkannya yaitu Maroko dan Andalusia – yaitu model
pengetahuan yang berpijak pada akal dan empiris (burhani). Al-jabiri
mengatakan rasionalisme (akal) yang memegang perenan penting dalam sebuah
kemajuan. Namun, Al-Jabiri mengkonsepkan akal sebagai akal positivis yang hanya
berpaut pada data-data eksperimental.
Al-Jabiri
menyimpulkan bahwa model yang berkembang pada pemikiran Arab terdapat tiga
system epistemology, yakni epistemology bayani, irfani dan burhani. Focus
pembahasannya adalah membongkar epistemology yang terkangung didalamnya dan
untuk manganalisis akal yang terbentuk oleh Tradisi Arab-Islam secara ilmiah
dan bukan untuk memahami secara mendalam tentang muatan ideologis yang
terkandnug dalam sisitem epistemologinya. Terdapat tiga system epistemology
yang masing-masing memiliki pandangan yang berbeda terhadap ilmu pengetahuan,
yakni:[4]
1. Epistemology Bayani
2. Epistemology Burhani
3. Epistemology Irfani
B.
Epistemologi
Bayani
Pendekatan
bayani sudah lama dipergunakan oleh para fuqaha', mutakallimun dan ushulliyun.
Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang didasarkan pada otoritas teks
(nash), secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung artinya memahami
teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa perlu
pemikiran; secara tidak langsung yakni memahami teks sebagai pengetahuan mentah
sehingga perlu penafsiran dan penalaran lebih mendalam. Namun tidak berarti
jika rasio atau akal bebas menentukan makna dan maksudnya, akan tetapi tetap
harus bersandar pada teks.[5]
Bayani berasal berasal
dari kata ب-ي- ن, yang berarti terpisah atu menampakkan. Sesuatu bila dikatakan
jelas jika dikatakan berbeda dari dan mempunyai kelebihan-kelebihan dibanding
dengan yang lain. Oleh karena itu, pengertian yang kedua (al-zuhur/al-izhar)
lahir dari pengertian yang pertama (al-fasl/al-infisal).
Menurut
al-Jabiri, pengertian yang pertama secara mendasar terkait dengan wujud
ontologism, sementara pengertian yang kedua terkait dengan wujud epistemologis.
Para ahli ushul
fiqh memberikan pengertian, bahwa bayan merupakan upaya mengeluarkan
suatu ungkapan dari keraguan menjadi jelas.[6]
Secara
sempit, pengetahuan bayani ini adalah cara manusia memperoleh pengetahuan dan
kebenaran atas dasar wahyu Allah swt terhadap manusia. Epistemology bayani yaitu pola pikir yang
bersumber dari nash, ijma’, ijtihad dan ilmu bahasa Arab. Pemikiran al-Jabiri
ini adalah batil baik secara syariat atau akal yang berimplikasi pada penyamaan
ilmu wahyu dan ilmu manusia dan menghilangkan sifat rabbaniyah dari ilmu-ilmu
Islam dan menganggapnya hanya sekedar bahasa saja. Dalam bayani, rasio dianggap
tidak mampu memberikan pengetahuan kecuali disandarkan pada teks, yakni
Al-Quran dan hadits.
Untuk mendapatkan pengetahuan dari teks (nash)
menempuh dua jalan. Pertama, berpegang pada redaksi (lafat) teks dengan
menggunakan kaidah-kaidah bahasa Arab, seperti sharaf atau nahwu. Kedua,
berpeganag pada makna teks yang menggunakan logika, rasio atau penalaran
sebagai sarana analisanya.
Dalam
peradaban Arab-islam, kajian yang mengenai bayani dikelompokkan jadi dua,
yakni: pertama, yang terikat dengan aturan dalam penafsiran sebuah wacana, dan
kedua yang terikat dengan syarat memproduksi wacana. Al-Jabiri memposisikan al-Syafi’i sebagai perumus atas nalar Islam,
karena hukum-hukum bahasa Arab dijadikannya titik ukur dalam penafsiran teks
suci, terutama hukum qiyas, dan dijadikan sebagai salah satu sumber
penalaran yang absah untuk memaknai persolan-persolan agama dan kemasyarakatan.
Maka berfikir atau bernalar, menurutnya adalah berfikir dalam kerangka nash.
Menurut al-Jabiri,
aktivitas nalar bayani terjadi dalam tiga hal;
a. aktivitas intelektual
yang bertitik tolak dari ashl yang disebut dengan istinbat (penggalian
pengetahuan dari teks).
b. aktivitas intelektual (al-tafkir)
yang bermuara pada ashl yang disebut dengan qiyas
c. aktivitas pemikiran
dengan arahan dari ashl, yaitu dengan menggunakan metode al-istidlal al-bayani.
C.
Epistemologi Burhani
Burhani merupakan bahasa Arab yang
secara harfiyah berarti mensucikan atau menjernihkan.[7] Menurut
ulama ushul, al-burha>n adalah sesuatu yang memisahkan kebenaran dari
kebatilan dan membedakan yang benar dari yang salah melalui penjelasan.[8]
Burhani adalah bahwa mengukur benar tidaknya
sesuatu adalah dengan berdasarkan kemampuan manusia berupa pengalaman manusia
dan akal dengan terlepas dari teks wahyu yang bersifat sakral. Sumber epistemologi ini adalah realita dan empiris; alam
sosial dan humanities dalam arti ilmu adalah diperoleh dari hasil percobaan,
penelitian, eksperimen, baik dilaboratorium ataupun alam nyata, baik yang
bersifat social maupun alam.
Metode
ini sering dipandang sebagai metode yang paling ilmiah, yang diharapkan dapat
menangkap realitas objek-objek yang ditelitinya dengan tepat, karena terhindar
dari kekeliruan-kekeliruan logis. Para filsof juga mengakui dan menggunakan
metode ini dalam penelitian ilmiah serta filosofis mereka. Burhani mengandalkan
kekuatan indera, pengalaman, dan akal dalam mencapai kebenaran.
Jadi, burhani menghasilkan pengetahuan melalui
prinsip-prinsip logika atas pengetahuan sebelumnya yang telah diyakini
kebenarannya.[9] Sumber
pengetahuan dari epistemology ini adalah rasio, bukan teks maupun intuisi. Rasiolah yang memberikan penilaian dan keputusan terhadap
informasi yang masuk lewat indera.
Untuk
mendapatkan pengetahuan dari rasio menggunakan aturan silogisme. Berdasarkan
penarikan silogisme menurut Aristoteles harus memenuhi beberapa syarat, yakni:[10]
1)
Mengetahui
latar belakang dari penyusunan premis
2)
Adanya
konsistensi logis antara alas an dan kesimpulan
3)
Kesimpulan
yang diambil harus bersifat pasti dan benar, agar tidak mungkin menimbulkan
kebenaran ataupun kepastian lain.
Epistemologi
ini hanya merujuk pada silogisme (al-Qiyas) atau lebih
menonjolkan qiyas. Sehingga dalam tradisi nalar Arab-Islam, sebagaimana
kritikan salah seorang tokoh Islam, epistemologi ini lebih akrab dengan
masalah-masalah hukum Islam (masail fiqhiyah) dari pada
problematika-problematika kemanusiaan yang perlu dihindari sejak dari
penyebabnya.burhani, dalam tataran praktis lebih menonjolkan qiyas guna
menyelesaikan masalah-masalah fikih saja.
Menurut Al
Jabiri epistemology Burhani bersumber dari pemikiran Yunani (khususnya Aristoteles),
tapi beliau tidak membatasi epistemology ini hanya terhadap orang-orang yang
mendasarkan analisisnya terhadap logika. Maka, konsep AL Jabiri ini lebih luas
dan lebih mencakup konsep rasionalitas Ibn Rusyd, sikap kritisnya Ibn Hazm,
historisismenya Ibn khaldun serta teori fundamentalnya al-Syatibi.
Karya-karya filosofis lainnya dapat dilihat dari komentar-kometar Ibn
Rusyd(w.1198) atsas karya-karya aristoteles dan plato, serta karya teosofis
suhrawardi (w. 1191), terutama hikmah Al-Isyraq, dan Mulla Syarda (w.
1641), Al-Asfar Al-Arba’ah. Karya-karya
besar mereka telah banyak menyumbang khazanah intelektual muslim.
Karya tulis inipun telah mengambil banyak ide dari karya-karya mereka, dan
tidak mungkin terwujud tanpa sumbangan mereka yang begitu kaya.[11]
D. Epistemology Irfani
Kata irfani merupakan
bentuk mashdar dari kata ع- ر- ف yang semakna dengan ma’rifah. Kata
irfan atau
ma’rifah
dikenal dalam kalangan sufi muslim (al-mutasawwifah al-islamiyyin)
untuk menunjukkan jenis pengetahuan yang paling luhur dan tinggi yang hadir
dalam kalbu melalui kasyf atau ilham. Secara
harfiyah al-‘irfan adalah mengetahui sesuatu dengan berfikir dan
mengkaji secara dalam. Dengan demikian al-‘irfan lebih khusus dari pada al-‘ilm.[12]
Epistemology
ini dengan memasukkan sufisme, pemikiran Syi’ah, penafsiran esoterik terhadap
Al-Qur’an, dan orientasi filsafat illuminasi. Dalam filsafat, irfani lebih
dikenal dengan istilah intuisi. Dengan intuisi, manusia memperoleh pengetahuan
secara tiba-tiba tanpa melalui proses penalaran tertentu.
Bagi kalangan irfaniyyun,
pengetahuan tentang Tuhan (hakikat Tuhan) tidak diketahui melalui bukti-bukti
empiris-rasional, tetapi harus melalui pengalaman langsung. Karena menurut
konsep irfan, Tuhan
dipahami sebagai realitas yang berbeda dengan alam, sedang akal, indera dan
segala yang ada di dunia ini merupakan bagian dari alam, sehingga tidak mungkin
mengetahui Tuhan dengan sarana-sarana tersebut. Satu-satunya sarana yang dapat
digunakan untuk mengetahui hakikat Tuhan adalah dengan jiwa (nafs).[13]
Pengetahuan
Irfani diperoleh tidak berdasarkan teks tetapi dengan olah rohani, dan disertai
kesucian hati, dan mengharapkan Tuhan akan mlimpahkan pengetahuan langsung
kepadanya. Kemudian masuk ke dalam pikiran dan dikonsepkan yang kemudian
dikemukakan kepada orang lain secara logis.
Epistemologi
Irfani ini, sesungguhnya hadir sebagai penyeimbang antara bayani dan burhani
untuk menghindari kekakuan dan rigiditas dalam berfikir. Memang benar demikian
kehadiran irfani dibutuhkan, namun pada perjalanan berikutnya irfani
mengalahkan posisi bayani dan burhani sehingga rasionalitas yang menjadi dasar
keduanya guna menjelaskan: kebenaran akan keesaan Allah dan kerasulan Muhammad
tersingkirkan.
Suhrawardi
menyebutkan jika ada tiga macam kemampuan manusia. Ada yang seperti sufi,
memiliki pengalaman intuitif yang sangat dalam, namun tidak mampu
mengungkapkannya dalam bahasa filosofis yang diskursif. Ada juga yang seperti
para filosof, mempunyai kemampuan mengekspresikan pikiran-pikiran mereka secara
filosofis-diskursif, tetapi tidak memeliki kemampuan dan pengalaman mistik yang
mendalam. Dan terakhir, ada para muta’allih, yang memiliki pengalaman
mistik yang mendalam seperti sufi, namun juga memiliki kemampuan berbahasa
filosofis yang diskursif seperti apara filosof.
Menurut
sejarahnya ada anggapan bahwa irfani tumbuh subur dalam era
Hellenis, sejak akhir abad ke-4 SM dan masa Yunani sampai pertengahan abad ke-7
M bersamaan dengan lahirnya Islam. Ia muncul sebagai perlawanan (baca: respon)
atas rasionalisme Yunani, ini oleh al-Jabiri disebut dengan munculnya al-‘aql
al-mustaqil (resigning reason) atau yang kemudian disebut dengan irfani untuk
menjawab tantangan zaman.
Dunia islam
dihiasi oleh karya-karya mistik yang agung dan sangat inspirasional, seperti Fushul
Al-Hikam dan Al-Futuhat Al-Makkiiyah karangan Ibn ‘arabi (w. 1240), Manthiq
Al-Thair karangan Farid Al-Din ‘Aththar(w. 1214), yang merupakan narasi
spiritualtentang perjalanan yang ditempuh para hamba menuju tujuan mereka.
Demikian juga karya puitis mistik agung, Al-Matsnawi Al-Ma’nawi karangan
Jalal Al-Din Rumi.
[1] Mulyadhi
Kartanegara, “Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam”, (Bandung: Mizan, 2002),
h. 58.
[2] Osman bakar,
“hierarki ilmu: membangun rangka piker ilamisasi ilmu”, (bandung: mizan), 1997.
[3] Mulyadhi
kartanegara, loc. Cit.
[4] Muhammad Abed
Al jabiri, “Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi: Dirasah Tahliliyah Naqdiyyah li Nuzhum
al-Ma’rifah fi al-Tsaqafah al-Arabiyah”, (Casablanca: Al-Markaz al-Tsaqafi
al-‘Arabi, 1993)
[6]
Muhammad
Muslih, Filsafat
Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasr Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, cet.
V, (Yogyakarta: Belukar, 2008)
[7] Muhammad ibn
Mukrim ibn Manzur al-Afriqi, “Lisan al-Arab Juz XIII”, (Cet. I: Bairut: Dar
Sadir) h. 51
[8] Muhammad ‘Abd
Rauf al-Mnawi, “al-Tauqif Muhimmat al-Ta’arif”, (Cet. I: Bairut: Dar al-Fikr
al-Mu’asir, 1410 H), h.123
[9] Muhammad Abed Al Jabiri,
“Isykaliyat al-Fikr al-Arabi al-Mu’ashir”, (Beirut: Markaz Dirasah al-Arabiyah,
1989), h. 59
[10] Muhammad Abed
Al Jabiri, loc,. Cit.
[11]
Mulyadhi kartanegara,. Loc. Cit.
[12]
Muhammad ‘Abd
Rauf al-manawi,. Loc. Cit.
[13]
Muhammad
Muslih,. Loc. Cit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar