trima kasih sudah mampir di blog saya dan jangan bosan mampir yaaa

Jumat, 17 Januari 2014

ISLAM DAN PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN



A.   Islam dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan

Islam adalah agama yang membawa perubahan yang besar serta mendunia bahkan terkenal si deluruh dunia. Islam diturunkan untuk memberikan atau mengajarkan sesuatu hal yang baru. Islam sudah sejak lahir telah memberikan perhatian yang besar terhadap berkembangnya ilmu. Islam yang diturunkan dengan ilmu pengetahuan saling berkaitan dan tak ada pertentangan. Dalam pembahasan ini yang kita singgung adalah pada bagian ilmu pengetahuan. Ilmu pegetahuan yang dalam islam disebut ‘ilmu sedangkan orang barat menyebutnya knowledge. Dalam system epistemology manapun tidak akan tertinggal suatu pertanyaan yang pokok untuk menentukan suatu pengetahuan.

 Pertanyaan itu ada dua, dimana kedua pertanyaan ini saling melengkapi, pertanyaan yang pertama adalah apa yang dapat kita ketahui, dan yang kedua adalah bagaimana mengetahuinya. Untuk menjawab kedua pertanyaan itu perlu diuraikan bahwa pertanyaan pertama adalah pertanyaan yang isi dari jawabannya mengenai teoro dan isi dari pada ilmu. Sedangkn yang kedua adalah metodologi[1].


Sangat berbeda adanya antara muslim atau orang islam dalam memandang ilmu dan orang barat dalam memandang ilmu, pandangan orang barat dalam menilai ilmu pengetahuan mengatakan bahwa semua hal yang dapat kita ketahui adalah segala sesuatu yang sejauh ia dapat diobservasi secara indrawi. Selama pengetahuan yang bersifat indriawi dalam artian nyata, maka hal seperti inilah yang disebut ilmu pengetahuan, sedangan yang bersifat nonindriawi, nonfisik dan metafisika tidak termasuk objek ilmu pengetahuan, karena tidak dapat diketahui secara ilmiyah.

Dalam pandangan muslim atau islam, mereka berpendapat bahwa kita bisa mengetahui bukan hanya objek-objek fisik melainkan juga objek-objek nonfisik, seperti konsep-konsep mental dan metafisika. Disamping entitas-entitas fisik, demikian tidak mustahil untul mengetahui makhluk-makhluk halus, seperti jin malaikat dan ruh.

Dari pola pikir seperti inilah, epistemology islam telah berhasil menyusun ”klasifkasi ilmu” Yang komperhensif dan disusun secara herarkis. Yaitu:
Metafisika                         (menempati posisi tertinggi )
Matematika                      (menempati posisi kedua )
Ilmu-ilmu fisik                  (menempati posisi terahir)[2].
Dari trikotomi seperti itu lahir berbagai disiplin ilmu rasional dalam dunia islam, seperti:
1.         Ontolagi
2.         Teologi
3.         Kosmologi
4.         Angeologi
5.         Eksatologi

Dan yang termasuk kedalam ilmu-ilmu metafisika diantaranya:
1.         Geometri
2.         Aljabar
3.         Aretmatika
4.         Music
5.         Trigonometri


Sedangkan yang termasuk ilmu matematika, fisika, kimia, geologi, geografi, astronomi, optika, dan sebagainya yang termasuk ilmu-lmu fisik[3].
Untuk menangkap atau mengetahui objek-objek daripada ilmu dapat kita menggunakan tiga metode yaitu metode obserfasi(bayani), metode logis atau demonstrative(burhani), dan yang ketiga adalah metode intuitif (‘irfani), dimana ketiga metode memiliki cirri khusus, ketiga metode tersebut akan diuraikan pada sup bab selanjutnya.
Epistemology dapat diartikan sebagai filsafat ilmu pengetahuan, yakni filsafat mengenai cara mengetahui kebenaran. Al-Jabiri membedakan pemikiran yang berkembang di dunia Islam menjadi Timur (Masyriq) dan Barat (Maghrib). Ia mengkritik model epistemologi yang berkembang di wilayah Arab-Islam (Timur) yang bercorak bayani-irfani. Sedangkan, model epistemologi terbaik menurutnya yaitu seperti yang pernah dikembangkan di wilayah maghrib – secara khusus yang dimaksudkannya yaitu Maroko dan Andalusia – yaitu model pengetahuan yang berpijak pada akal dan empiris (burhani). Al-jabiri mengatakan rasionalisme (akal) yang memegang perenan penting dalam sebuah kemajuan. Namun, Al-Jabiri mengkonsepkan akal sebagai akal positivis yang hanya berpaut pada data-data eksperimental.
Al-Jabiri menyimpulkan bahwa model yang berkembang pada pemikiran Arab terdapat tiga system epistemology, yakni epistemology bayani, irfani dan burhani. Focus pembahasannya adalah membongkar epistemology yang terkangung didalamnya dan untuk manganalisis akal yang terbentuk oleh Tradisi Arab-Islam secara ilmiah dan bukan untuk memahami secara mendalam tentang muatan ideologis yang terkandnug dalam sisitem epistemologinya. Terdapat tiga system epistemology yang masing-masing memiliki pandangan yang berbeda terhadap ilmu pengetahuan, yakni:[4]
1.      Epistemology Bayani
2.      Epistemology Burhani
3.      Epistemology Irfani


B.   Epistemologi Bayani
Pendekatan bayani sudah lama dipergunakan oleh para fuqaha', mutakallimun dan ushulliyun. Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang didasarkan pada otoritas teks (nash), secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran; secara tidak langsung yakni memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu penafsiran dan penalaran lebih mendalam. Namun tidak berarti jika rasio atau akal bebas menentukan makna dan maksudnya, akan tetapi tetap harus bersandar pada teks.[5]
Bayani berasal berasal dari kata ب-ي- ن, yang berarti terpisah atu menampakkan. Sesuatu bila dikatakan jelas jika dikatakan berbeda dari dan mempunyai kelebihan-kelebihan dibanding dengan yang lain. Oleh karena itu, pengertian yang kedua (al-zuhur/al-izhar) lahir dari pengertian yang pertama (al-fasl/al-infisal).

Menurut al-Jabiri, pengertian yang pertama secara mendasar terkait dengan wujud ontologism, sementara pengertian yang kedua terkait dengan wujud epistemologis. Para ahli ushul fiqh memberikan pengertian, bahwa bayan merupakan upaya mengeluarkan suatu ungkapan dari keraguan menjadi jelas.[6]

Secara sempit, pengetahuan bayani ini adalah cara manusia memperoleh pengetahuan dan kebenaran atas dasar wahyu Allah swt terhadap manusia. Epistemology bayani yaitu pola pikir yang bersumber dari nash, ijma’, ijtihad dan ilmu bahasa Arab. Pemikiran al-Jabiri ini adalah batil baik secara syariat atau akal yang berimplikasi pada penyamaan ilmu wahyu dan ilmu manusia dan menghilangkan sifat rabbaniyah dari ilmu-ilmu Islam dan menganggapnya hanya sekedar bahasa saja. Dalam bayani, rasio dianggap tidak mampu memberikan pengetahuan kecuali disandarkan pada teks, yakni Al-Quran dan hadits.

Untuk mendapatkan pengetahuan dari teks (nash) menempuh dua jalan. Pertama, berpegang pada redaksi (lafat) teks dengan menggunakan kaidah-kaidah bahasa Arab, seperti sharaf atau nahwu. Kedua, berpeganag pada makna teks yang menggunakan logika, rasio atau penalaran sebagai sarana analisanya.

Dalam peradaban Arab-islam, kajian yang mengenai bayani dikelompokkan jadi dua, yakni: pertama, yang terikat dengan aturan dalam penafsiran sebuah wacana, dan kedua yang terikat dengan syarat memproduksi wacana. Al-Jabiri memposisikan al-Syafi’i sebagai perumus atas nalar Islam, karena hukum-hukum bahasa Arab dijadikannya titik ukur dalam penafsiran teks suci, terutama hukum qiyas, dan dijadikan sebagai salah satu sumber penalaran yang absah untuk memaknai persolan-persolan agama dan kemasyarakatan. Maka berfikir atau bernalar, menurutnya adalah berfikir dalam kerangka nash.
Menurut al-Jabiri, aktivitas nalar bayani terjadi dalam tiga hal;
a. aktivitas intelektual yang bertitik tolak dari ashl yang disebut dengan istinbat (penggalian pengetahuan dari teks).
b.  aktivitas intelektual (al-tafkir) yang bermuara pada ashl yang disebut dengan qiyas
c. aktivitas pemikiran dengan arahan dari ashl, yaitu dengan menggunakan metode al-istidlal al-bayani.


C.   Epistemologi Burhani

Burhani merupakan bahasa Arab yang secara harfiyah berarti mensucikan atau menjernihkan.[7] Menurut ulama ushul, al-burha>n adalah sesuatu yang memisahkan kebenaran dari kebatilan dan membedakan yang benar dari yang salah melalui penjelasan.[8]

Burhani adalah bahwa mengukur benar tidaknya sesuatu adalah dengan berdasarkan kemampuan manusia berupa pengalaman manusia dan akal dengan terlepas dari teks wahyu yang bersifat sakral. Sumber epistemologi ini adalah realita dan empiris; alam sosial dan humanities dalam arti ilmu adalah diperoleh dari hasil percobaan, penelitian, eksperimen, baik dilaboratorium ataupun alam nyata, baik yang bersifat social maupun alam.

Metode ini sering dipandang sebagai metode yang paling ilmiah, yang diharapkan dapat menangkap realitas objek-objek yang ditelitinya dengan tepat, karena terhindar dari kekeliruan-kekeliruan logis. Para filsof juga mengakui dan menggunakan metode ini dalam penelitian ilmiah serta filosofis mereka. Burhani  mengandalkan  kekuatan  indera, pengalaman, dan akal dalam mencapai kebenaran.

Jadi, burhani menghasilkan pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika atas pengetahuan sebelumnya yang telah diyakini kebenarannya.[9] Sumber pengetahuan dari epistemology ini adalah rasio, bukan teks maupun intuisi. Rasiolah yang memberikan penilaian dan keputusan terhadap informasi yang masuk lewat indera.

Untuk mendapatkan pengetahuan dari rasio menggunakan aturan silogisme. Berdasarkan penarikan silogisme menurut Aristoteles harus memenuhi beberapa syarat, yakni:[10]
1)         Mengetahui latar belakang dari penyusunan premis
2)         Adanya konsistensi logis antara alas an dan kesimpulan
3)         Kesimpulan yang diambil harus bersifat pasti dan benar, agar tidak mungkin menimbulkan kebenaran ataupun kepastian lain.

Epistemologi ini hanya merujuk pada silogisme (al-Qiyas) atau lebih menonjolkan qiyas. Sehingga dalam tradisi nalar Arab-Islam, sebagaimana kritikan salah seorang tokoh Islam, epistemologi ini lebih akrab dengan masalah-masalah hukum Islam (masail fiqhiyah) dari pada problematika-problematika kemanusiaan yang perlu dihindari sejak dari penyebabnya.burhani, dalam tataran praktis lebih menonjolkan qiyas guna menyelesaikan masalah-masalah fikih saja.

Menurut Al Jabiri epistemology Burhani bersumber dari pemikiran Yunani (khususnya Aristoteles), tapi beliau tidak membatasi epistemology ini hanya terhadap orang-orang yang mendasarkan analisisnya terhadap logika. Maka, konsep AL Jabiri ini lebih luas dan lebih mencakup konsep rasionalitas Ibn Rusyd, sikap kritisnya Ibn Hazm, historisismenya Ibn khaldun serta teori fundamentalnya al-Syatibi.

Karya-karya filosofis lainnya dapat dilihat dari komentar-kometar Ibn Rusyd(w.1198) atsas karya-karya aristoteles dan plato, serta karya teosofis suhrawardi (w. 1191), terutama hikmah Al-Isyraq, dan Mulla Syarda (w. 1641), Al-Asfar Al-Arba’ah. Karya-karya  besar mereka telah banyak menyumbang khazanah intelektual muslim. Karya tulis inipun telah mengambil banyak ide dari karya-karya mereka, dan tidak mungkin terwujud tanpa sumbangan mereka yang begitu kaya.[11]


D.  Epistemology Irfani

Kata irfani merupakan bentuk mashdar dari kata ع- ر- ف yang semakna dengan ma’rifah. Kata irfan atau ma’rifah dikenal dalam kalangan sufi muslim (al-mutasawwifah al-islamiyyin) untuk menunjukkan jenis pengetahuan yang paling luhur dan tinggi yang hadir dalam kalbu melalui kasyf atau ilham. Secara harfiyah al-‘irfan adalah mengetahui sesuatu dengan berfikir dan mengkaji secara dalam. Dengan demikian al-‘irfan lebih khusus dari pada al-‘ilm.[12]

Epistemology ini dengan memasukkan sufisme, pemikiran Syi’ah, penafsiran esoterik terhadap Al-Qur’an, dan orientasi filsafat illuminasi. Dalam filsafat, irfani lebih dikenal dengan istilah intuisi. Dengan intuisi, manusia memperoleh pengetahuan secara tiba-tiba tanpa melalui proses penalaran tertentu.

Bagi kalangan irfaniyyun, pengetahuan tentang Tuhan (hakikat Tuhan) tidak diketahui melalui bukti-bukti empiris-rasional, tetapi harus melalui pengalaman langsung. Karena menurut konsep irfan, Tuhan dipahami sebagai realitas yang berbeda dengan alam, sedang akal, indera dan segala yang ada di dunia ini merupakan bagian dari alam, sehingga tidak mungkin mengetahui Tuhan dengan sarana-sarana tersebut. Satu-satunya sarana yang dapat digunakan untuk mengetahui hakikat Tuhan adalah dengan jiwa (nafs).[13]

Pengetahuan Irfani diperoleh tidak berdasarkan teks tetapi dengan olah rohani, dan disertai kesucian hati, dan mengharapkan Tuhan akan mlimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. Kemudian masuk ke dalam pikiran dan dikonsepkan yang kemudian dikemukakan kepada orang lain secara logis.

Epistemologi Irfani ini, sesungguhnya hadir sebagai penyeimbang antara bayani dan burhani untuk menghindari kekakuan dan rigiditas dalam berfikir. Memang benar demikian kehadiran irfani dibutuhkan, namun pada perjalanan berikutnya irfani mengalahkan posisi bayani dan burhani sehingga rasionalitas yang menjadi dasar keduanya guna menjelaskan: kebenaran akan keesaan Allah dan kerasulan Muhammad tersingkirkan.

Suhrawardi menyebutkan jika ada tiga macam kemampuan manusia. Ada yang seperti sufi, memiliki pengalaman intuitif yang sangat dalam, namun tidak mampu mengungkapkannya dalam bahasa filosofis yang diskursif. Ada juga yang seperti para filosof, mempunyai kemampuan mengekspresikan pikiran-pikiran mereka secara filosofis-diskursif, tetapi tidak memeliki kemampuan dan pengalaman mistik yang mendalam. Dan terakhir, ada para muta’allih, yang memiliki pengalaman mistik yang mendalam seperti sufi, namun juga memiliki kemampuan berbahasa filosofis yang diskursif seperti apara filosof.

Menurut sejarahnya ada anggapan bahwa irfani tumbuh subur dalam era Hellenis, sejak akhir abad ke-4 SM dan masa Yunani sampai pertengahan abad ke-7 M bersamaan dengan lahirnya Islam. Ia muncul sebagai perlawanan (baca: respon) atas rasionalisme Yunani, ini oleh al-Jabiri disebut dengan munculnya al-‘aql al-mustaqil (resigning reason) atau yang kemudian disebut dengan irfani untuk menjawab tantangan zaman.
Dunia islam dihiasi oleh karya-karya mistik yang agung dan sangat inspirasional, seperti Fushul Al-Hikam dan Al-Futuhat Al-Makkiiyah karangan Ibn ‘arabi (w. 1240), Manthiq Al-Thair karangan Farid Al-Din ‘Aththar(w. 1214), yang merupakan narasi spiritualtentang perjalanan yang ditempuh para hamba menuju tujuan mereka. Demikian juga karya puitis mistik agung, Al-Matsnawi Al-Ma’nawi karangan Jalal Al-Din Rumi.



[1] Mulyadhi Kartanegara, “Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam”, (Bandung: Mizan, 2002), h. 58.
[2] Osman bakar, “hierarki ilmu: membangun rangka piker ilamisasi ilmu”, (bandung: mizan), 1997.
[3] Mulyadhi kartanegara, loc. Cit.
[4] Muhammad Abed Al jabiri, “Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi: Dirasah Tahliliyah Naqdiyyah li Nuzhum al-Ma’rifah fi al-Tsaqafah al-Arabiyah”, (Casablanca: Al-Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi, 1993)
[5] Ibid, h. 38
[6] Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasr Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, cet. V, (Yogyakarta: Belukar, 2008)
[7] Muhammad ibn Mukrim ibn Manzur al-Afriqi, “Lisan al-Arab Juz XIII”, (Cet. I: Bairut: Dar Sadir) h. 51
[8] Muhammad ‘Abd Rauf al-Mnawi, “al-Tauqif Muhimmat al-Ta’arif”, (Cet. I: Bairut: Dar al-Fikr al-Mu’asir, 1410 H), h.123
[9] Muhammad Abed Al Jabiri, “Isykaliyat al-Fikr al-Arabi al-Mu’ashir”, (Beirut: Markaz Dirasah al-Arabiyah, 1989), h. 59
[10] Muhammad Abed Al Jabiri, loc,. Cit.
[11] Mulyadhi kartanegara,. Loc. Cit.
[12] Muhammad ‘Abd Rauf al-manawi,. Loc. Cit.
[13] Muhammad Muslih,. Loc. Cit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar