A. Pengertian
ilmu Mukhtalaf Hadits
Secara
etimologi mukhtalaf adalah isim fa’il dari al-ikhtilaf yang
berarti lawan dari kesesuaian atau yang bertentangan.
Secara istilah, yaitu hadits-hadits yang lahirnya bertentangan dengan kaidah-kaidah
yang baku sehingga mengessankan makna yang batil atau bertentangan dengan nashsh
syara’ yang lain.
Muhammad 'Ajjaj al-Khathib
mendefiniskan Ilmu Mukhtalîf al-Hadîs wa Musyakilihi sebagai:
الْعِلْمُ الَّذِيْ يَبْحَثُ فِى
اْلأَحَادِيْثِ الَّتِيْ ظَاهِرُهَا مُتَعَارِضٌ فَيُزِيْلُ تَعَارُضَهَا أَوْ
يُوَفِّقُ بَيْنَهَا كَمَا يَبْحَثُ فِى اْلأَحَادِيْثِ الَّتِيْ يَشْكُلُ
فَهْمُهَا أَوْ تَصَوُّرُهَا فَيَدْفَعُ أَشْكَالَهَا وَيُوَضِّحُ حَقِيْقَتَهَا
Ilmu yang membahas hadis-hadis yang
tampaknya saling bertentangan, lalu menghilangkan pertentangan itu, atau
mengkompromikannya, di samping membahas hadis yang sulit dipahami atau
dimengerti, lalu menghilangkan kesulitan itu dan menjelaskan hakikatnya.
Menurut Subhi Solih, mukhtalaf hadist adalah ilmu yang membahas
hadits-hadits yang mempunyai kontradiksi dalam dhahirnya yang antara keduanya
bisa disatukan baik dari sisi membatasi kemutlakannya, memberikan kekhususan
dari keumumannya, atau mengarahkan pada sesuatu yang baru (ta’wil).
Sedangkan
menurut al-Tahanawiy adalah ditemukannya dua hadits yang saling bertentangan
dalam makna dengan memperhatikan dhahirnya lafadz, maka disatukan keduanya
dengan sesuatau yang bisa menghilangkan kontradiksi atau dengan mengambil yang
paling rajah.
Dari beberapa
definisi diatas dapat disimpulkan bahwa ilmu mukhtalaf hadits adalah dua hadits
yang secara lahiriyahnya saling bertentangan yang memungkinkan dapat
dikompromikan atau salah satunya diutamakan.
Ilmu ini
merupakan salah satu buah dari penghafalan hadits, pemahaman secara mendalam
terhadapnya, pengetahuan tentang ‘am dank khash-nya dan hal-hal
yang berkaitan dengan penguasaan terhadapnya. Sebab tidak cukup bagi seseorang
hanya dengan menghafal hadits, menghimpun sanad-sanadnya dan menandai
kata-katanya tanpa memahaminya dan mengetahui kandungan hukumnya.
Sebagian ulama
menyebut ilmu ini dengan ilmu Musykilul Hadits, ada yang menamai dengan
ilmu Ta’wilu ‘I-Hadits, dan sebagian yang lain menyebutnya dengan
nama ilmu Ikhtilaf Hadits atau ilmu Talfiqul Hadits.
B.
Metode
Penyelesaian Mukhtalaf Hadits
Dalam
menyelesaikan hadits-hadits yang saling bertentangan ada banyak metode yang
dapat ditempuh, antara lain:
1.
Al-jam’u
2.
Nasakh
3.
Tarjih
4.
Al-ikhtilaf
5.
Tawaqquf
6.
Takhyir.
1.
Al-jam’u
Al-jam’u wa al-taufiq (penggabungan). Yakni menggabungkan
pengertian antara keduanya sehingga masing-masing dalil tetap dapat digunakan
sebagai hujjah.
Caranya dengan men-takhsish-kan hadits yang umum, men-taqyid-kan
hadits yang mutlak atau dengan memilih sanadnya yang lebih kuat dan yang lebih
banyak jalan datangnya.
Contohnya adalah hadits ‘Aisyah r.a. bahwa Nabi Muhammad SAW,
berkata:
ياايهاالناس عليكم من الاعمال ماتطيقون . فان
الله لايمل حتى تملوا , وان احب الاعمال الى الله مادووم وان قل
Wahai manusia, lakukanlah amal-amal (kebaikan)-mu sejauh
kemampuanmu, karena sesungguhnya Allah tidak akan bosan sehingga kamu bosan.
Sesungguhnya amal yang paling dicintai Allah adalah amal yang dibiasakan
meskipun sedikit. (HR. Muttafaq ‘Alaih).
Kata “bosan” adalah sifat yang menyerang banyak orang ketika
banyaknya beban pada mereka. Dan itu mustahil bila terjadi pada Allah. Menurut
Ibnu Faurak, “makna hadits itu adalah bahwasannya Allah tidak akan marah
kepadamu dan tidak akan memutuskan pahala-Nya sehingga kamu tinggalkan amal
kebaikan dan menjauhkan permohonan dan kecintaan kepada-Nya. Tindakan Allah
yang demikian dalam hadits diatas disebut bosan yang dikiaskan pada
kebosanan manusia, dan bukan kebosanan yang hakiki.
Sedangkan menurut Al-qushari berkata bahwa makana hadits itu adalah
Allah SWT. tidak akan pernah bosan
memberi kepada hamba-Nya agar ia bosan dan mengakui kelemahannya ketika
melakukan sesuatu yang diluar kemampuannya.
2.
Nasakh
Nasakh
dilakukan bila cara jam’u tidak dapat dilakukan. Nasakh dilakukan dengan
penghapusan masa berlakunya hadits, maksudnya hadis yang terdahulu di nasakh
oleh hadits yang belakangan dan hadits yang dipakai sebagai dalil hanya satu.
Beberapa petunjuk yang menunjukkan bahwa suatu hadits yang telah dinasakh,
sebagai berikut:
Ø Adanya
penjelasan dari Rasulullah jika hadits itu telah dinasakh.
Ø
Adanya petunjuk dari sahabat tentang hadits-hadits yang
dinasakh.
Ø
Telah diketahui tarikhnya.
Ø
Berdasarkan dalil Ijmâ’.(Taisir Mushthalah Hadits)
Contoh hadits nasakh, Rasulullah bersabda,
نهيتكم
عن زيارة القبور فزوروها ، ونهيتكم عن لحوم الأضاحي فوق ثلاث فأمسكواما بدا لكم ،
ونهيتكم عن النبيذ إلافي سقاء فاشربوا في الأسقية كلها ، ولاتشربوا مسكرا .
“(Dulu) aku melarang kamu ziarah kubur,
sekarang berziarahlah, aku (pernah) melarang kamu menyimpan daging kuraban
lebih dari tiga hari, sekarang simpanlah apa yang ada padamu, aku juga (pernah)
melarang perahan kecuali untuk langsung diminum (tidak diperam), sekarang
minumlah segala bentuk minuman (termasuk peraman) tetpi jangan minum yang
memabukkan.”
3.
Tarjih
Yakni metode
yang mengunggulkan salah satu hadits dari hadits yang berlawanan maknanya. Hadits-hadits
yang berlawanan akan dikaji lebih jauh untuk diketahui mana yang lebih kuat dan
lebih tinggi ke-hujjah-annya, lalu diamalkan yang kuat dan meninggalkan yang
lemah. Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam melakukan tarjih,
antara lain:
·
Banyaknya periwayat
·
Tingginya intelektualitas dan moral
perawi
·
Matan yang selamat dari idtirab (membingungkan)
·
Redaksi
tahammul yang menggunakan sama’ dan setingkat (sami’na, akhbarana, syahidna)
dengan redaksi tahammul yang lain.
·
Hadis yang
dinisbatkan secara langsung terhadap Nabi baik secara nas atau perkataan.
·
Hadits yang mencakup hukum dan
penguat (ta’kid)
·
Men-tarjih dengan factor luar
seperti kesesuaiandengan lahir Al-Qur’an atau sunnah lai, dengan kias, amal
ulama terutama para khalifah, dan sebagainya.
Contohnya :
1. حدثنا أبو
بكر حد ثنا سفيان بن عيينةَ عن زيد بن أسلم
عن عبد الرحمن بن وعلةَ عن ابن عباس قال سمعت رسول
اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْه وسلَّم يقول أَيما إِهاب دبِغَ فَقد طَهر ( ابن ماجه )
2. حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ طَرِيفٍ الْكُوفِيُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ عَنْ
الْأَعْمَشِ وَالشَّيْبَانِيِّ عَنْ الْحَكَمِ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي
لَيْلَى عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُكَيْمٍ قَالَ
أَتَانَا كِتَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لَا
تَنْتَفِعُوا مِنْ الْمَيْتَةِ بِإِهَابٍ وَلَا عَصَبٍ ( سنن الترمذى )
Dari kedua hadis tersebut nampak terjadi kontradiksi. Hadis pertama
menyatakan sucinya kulit hewan yang telah dibersihkan. Sementara hadis kedua
menyatakan larangan menggunakan kulit bangkai. Namun dari kedua hadis di atas
tetap yang diunggulkan adalah hadis pertama dengan pertimbangan redaksi
tahammul hadis pertama menggunakan sami’tu yang memiliki tingkatan yang
lebih kuat dari pada redaksi tahammul dengan kitabah.
4. Al-Ikhtilaf
Yang dimaksud dengan al-ikhtilaf, al-ikhtilaf min jihah
al-mubah, adalah memahami beberapahadits yang tampak saling berlawanan sebagai
bentuk pelaksanaan ibadah yang bervariasi dan boleh diikuti dengan cara
mengumpulkan semua bentuk pelaksanaan tersebut atau mengamalkan secara
bergantian. Penyelesaian dalm bentuk ini hanya terbatas pada hadits-hadits yang
menyangkut tata cara pelaksanaan ibadah dan hadits tersebut pun termasuk
kategori hadits maqbul (Muqaddimah Ibnu Shalah).
5. Tawaqquf
Bila
dari cara-cara diatas masih belum mendapatka titik temu maka hadits itu di tawaqquf
(ditangguhkan). Yakni penyelesaian dengan mendiamkan atau tidak mengamalkan
hadits tersebut sementara waktu sampai terdapat dalil lain yang mengunggulkan
salah satunya.
6. Takhyir
Yang
dimaksud takhyîr dalam permasalahan ini adalah memilih salah satu dalil yang
dikehendaki dari kedua hadits yang bertentangan tersebut untuk diamalkan.Metode
penyelesaian ini ditempuh apabila tidak mungkin melakukan ketentuan-ketentuan
sebelumnya maupun menunggu ketidakpastian hukum.Oleh sebagian ulama,pendapat
ini didasarkan pada wajibnya melaksanakan suatu ketentuan hukum yang telah
dibebankan pertama kali bagi seorang mukallaf.
C. PERINTIS DAN KITAB-KITAB MUKHTALAF
HADITS
Ulama’ yang
pertama kali menghimpun ilmu Mukhtalifu ‘I-Hadits ini adalah Imam Muhammad ibn
Idris Asy-Syafi’iy (150-204 H) dan kitab Al-Umm. Beliau
tidak bermaksud menyubkan semua hadits yang tampak bertentangan, tetapi hanya
menyebut agar dijadikan sebagai sempel oleh ulama’ lain. Ada sebagian
ulama yang mengatakan bahwa Asy-syafi’iy itu tidak ada maksud untuk menjadikan
ilmu itu berdiri sendiri, tetapi beliau hanya menulisnya dalam membahas
masalah-masalah dalam kitabnya. Hal tersebut tidak tepat, sebab disamping
beliau mengutaraka hadits mukhtalif di dalam kitab Al-Umm-nya, juga menyusun
sendiri dalam kitab tertentu yakni Mukhtalif ‘I-Hadits.
Setelah Imam
Asy-Syafi’iy, maka lahirlah kitab-kitab sebagai berikut:
v Ta’wilu Mukhtalifu ‘I-Hadits, karya Al-Hafidh ‘Abdullah bin Muslim bin Qutaibah Ad-Dainury
(213-276 H). kitab ini ditulis oleh beliau untuk memberikan jawaban bagi orang
yang mengadakan tantangan terhadap hadits; dan menuduh para ahli hadits yang
sengaja mengumpulkan hadits-hadits yang saling berlawanan dan meriwayatkan
hadits-hadits yang musykil. Dan mengumpulkan hadits yang menurut lahirnya
bertentangan, kemiduan diuraikan menjadi hadits yang tidak berlawanan satu sama
lain.
v Musykilu ‘I-Atsar. Karya Imam Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad At-Thahawy (239-321 H).
selain beliau al-muhaddits juga terkenal sebgai Al-Faqih. Kitab beliau tersusun
dari 4 jilid yang telah dicetak di India tahun 1333 H.
v Muskyilu ‘I-hadits wa Bayanuhu, karya al-muhaddits Abu Bakr Muhammad bin Al-Hasan (Ibnu
Furak) al-anshary Al-Asbihany yang wafat pada tahun 406 H. beliau menyusun
beberapa hadits nabawy yang menurut lahirnya diduga serupa, dan berlawanan yang
dilemparkan oleh orang-orang yang memusuhi agama. Kemudian beliaua jelaskan hadits-hadits itu, batallah tuduhan
mereka. Karena uraian beliau berdasarkan nash-nash juga berpijak pada analisa
yang logis. Kitab beliau telah dicetak di India tahun 1362 H.
v Kitab at-tahqiq fi Ahadits
al-Khilaf karya Abu al-faraj ibn al-Jauzy (wafat pada tahun 597 H)
DAFTAR PUSTAKA
Aku Ibnu. Metode
Memahami Hadits yang Secara Dzahir Bertentangan. diakses dari http://aku-ibnu.blogspot.com/?zx=3ea46beea9837aab,
pada Tanggal 19 Mei 2010.
‘Itr,
Nuruddin. 1994. ‘Ulum Al-Hadits 2. Bandung: Dar al-Fikr Damaskus.
Juned,
Daniel. 2010. Ilmu Hadits. Jakarta: Erlangga.
Rahman,
Fatchur. 1974. Ikhtishar Mushthalahul Hadits. Bandung: Al Ma’arif.
Tim penyusun
MKD Sunan Ampel. 2011. Studi Hadits. Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar