trima kasih sudah mampir di blog saya dan jangan bosan mampir yaaa

Jumat, 26 Juli 2013

ILMU MUKHTALAF HADITS



A.   Pengertian ilmu Mukhtalaf  Hadits
Secara etimologi mukhtalaf adalah isim fa’il dari al-ikhtilaf yang berarti lawan dari kesesuaian atau yang bertentangan.
Secara istilah, yaitu hadits-hadits yang lahirnya bertentangan dengan kaidah-kaidah yang baku sehingga mengessankan makna yang batil atau bertentangan dengan nashsh syara’ yang lain.
Muhammad 'Ajjaj al-Khathib mendefiniskan Ilmu Mukhtalîf al-Hadîs wa Musyakilihi sebagai:
الْعِلْمُ الَّذِيْ يَبْحَثُ فِى اْلأَحَادِيْثِ الَّتِيْ ظَاهِرُهَا مُتَعَارِضٌ فَيُزِيْلُ تَعَارُضَهَا أَوْ يُوَفِّقُ بَيْنَهَا كَمَا يَبْحَثُ فِى اْلأَحَادِيْثِ الَّتِيْ يَشْكُلُ فَهْمُهَا أَوْ تَصَوُّرُهَا فَيَدْفَعُ أَشْكَالَهَا وَيُوَضِّحُ حَقِيْقَتَهَا
Ilmu yang membahas hadis-hadis yang tampaknya saling bertentangan, lalu menghilangkan pertentangan itu, atau mengkompromikannya, di samping membahas hadis yang sulit dipahami atau dimengerti, lalu menghilangkan kesulitan itu dan menjelaskan hakikatnya.
Menurut Subhi Solih, mukhtalaf hadist adalah ilmu yang membahas hadits-hadits yang mempunyai kontradiksi dalam dhahirnya yang antara keduanya bisa disatukan baik dari sisi membatasi kemutlakannya, memberikan kekhususan dari keumumannya, atau mengarahkan pada sesuatu yang baru (ta’wil).

Sedangkan menurut al-Tahanawiy adalah ditemukannya dua hadits yang saling bertentangan dalam makna dengan memperhatikan dhahirnya lafadz, maka disatukan keduanya dengan sesuatau yang bisa menghilangkan kontradiksi atau dengan mengambil yang paling rajah.
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa ilmu mukhtalaf hadits adalah dua hadits yang secara lahiriyahnya saling bertentangan yang memungkinkan dapat dikompromikan atau salah satunya diutamakan.
Ilmu ini merupakan salah satu buah dari penghafalan hadits, pemahaman secara mendalam terhadapnya, pengetahuan tentang ‘am dank khash-nya dan hal-hal yang berkaitan dengan penguasaan terhadapnya. Sebab tidak cukup bagi seseorang hanya dengan menghafal hadits, menghimpun sanad-sanadnya dan menandai kata-katanya tanpa memahaminya dan mengetahui kandungan hukumnya.
Sebagian ulama menyebut ilmu ini dengan ilmu Musykilul Hadits, ada yang menamai dengan ilmu Ta’wilu ‘I-Hadits, dan sebagian yang lain menyebutnya dengan nama ilmu Ikhtilaf Hadits atau ilmu Talfiqul Hadits.

B.     Metode Penyelesaian Mukhtalaf  Hadits
Dalam menyelesaikan hadits-hadits yang saling bertentangan ada banyak metode yang dapat ditempuh, antara lain:
1.      Al-jam’u
2.       Nasakh
3.      Tarjih
4.      Al-ikhtilaf
5.      Tawaqquf
6.      Takhyir.

1.   Al-jam’u
Al-jam’u wa al-taufiq (penggabungan). Yakni menggabungkan pengertian antara keduanya sehingga masing-masing dalil tetap dapat digunakan sebagai hujjah.
Caranya dengan men-takhsish-kan hadits yang umum, men-taqyid-kan hadits yang mutlak atau dengan memilih sanadnya yang lebih kuat dan yang lebih banyak jalan datangnya.
Contohnya adalah hadits ‘Aisyah r.a. bahwa Nabi Muhammad SAW, berkata:
ياايهاالناس عليكم من الاعمال ماتطيقون . فان الله لايمل حتى تملوا , وان احب الاعمال الى الله مادووم وان قل
Wahai manusia, lakukanlah amal-amal (kebaikan)-mu sejauh kemampuanmu, karena sesungguhnya Allah tidak akan bosan sehingga kamu bosan. Sesungguhnya amal yang paling dicintai Allah adalah amal yang dibiasakan meskipun sedikit. (HR. Muttafaq ‘Alaih).
Kata “bosan” adalah sifat yang menyerang banyak orang ketika banyaknya beban pada mereka. Dan itu mustahil bila terjadi pada Allah. Menurut Ibnu Faurak, “makna hadits itu adalah bahwasannya Allah tidak akan marah kepadamu dan tidak akan memutuskan pahala-Nya sehingga kamu tinggalkan amal kebaikan dan menjauhkan permohonan dan kecintaan kepada-Nya. Tindakan Allah yang demikian dalam hadits diatas disebut bosan yang dikiaskan pada kebosanan manusia, dan bukan kebosanan yang hakiki.
Sedangkan menurut Al-qushari berkata bahwa makana hadits itu adalah Allah SWT.  tidak akan pernah bosan memberi kepada hamba-Nya agar ia bosan dan mengakui kelemahannya ketika melakukan sesuatu yang diluar kemampuannya.
2.   Nasakh
Nasakh dilakukan bila cara jam’u tidak dapat dilakukan. Nasakh dilakukan dengan penghapusan masa berlakunya hadits, maksudnya hadis yang terdahulu di nasakh oleh hadits yang belakangan dan hadits yang dipakai sebagai dalil hanya satu. Beberapa petunjuk yang menunjukkan bahwa suatu hadits yang telah dinasakh, sebagai berikut:
Ø  Adanya penjelasan dari Rasulullah jika hadits itu telah dinasakh.
Ø  Adanya petunjuk dari sahabat tentang hadits-hadits yang dinasakh.
Ø  Telah diketahui tarikhnya.
Ø  Berdasarkan dalil Ijmâ’.(Taisir Mushthalah Hadits)

Contoh hadits nasakh, Rasulullah bersabda,

نهيتكم عن زيارة القبور فزوروها ، ونهيتكم عن لحوم الأضاحي فوق ثلاث فأمسكواما بدا لكم ، ونهيتكم عن النبيذ إلافي سقاء فاشربوا في الأسقية كلها ، ولاتشربوا مسكرا .
“(Dulu) aku melarang kamu ziarah kubur, sekarang berziarahlah, aku (pernah) melarang kamu menyimpan daging kuraban lebih dari tiga hari, sekarang simpanlah apa yang ada padamu, aku juga (pernah) melarang perahan kecuali untuk langsung diminum (tidak diperam), sekarang minumlah segala bentuk minuman (termasuk peraman) tetpi jangan minum yang memabukkan.”
3.   Tarjih
Yakni metode yang mengunggulkan salah satu hadits dari hadits yang berlawanan maknanya. Hadits-hadits yang berlawanan akan dikaji lebih jauh untuk diketahui mana yang lebih kuat dan lebih tinggi ke-hujjah-annya, lalu diamalkan yang kuat dan meninggalkan yang lemah. Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam melakukan tarjih, antara lain:
·         Banyaknya periwayat
·         Tingginya intelektualitas dan moral perawi
·         Matan yang selamat dari idtirab (membingungkan)
·         Redaksi tahammul yang menggunakan sama’ dan setingkat (sami’na, akhbarana, syahidna) dengan redaksi tahammul yang lain.
·         Hadis yang dinisbatkan secara langsung terhadap Nabi baik secara nas atau perkataan.
·         Hadits yang mencakup hukum dan penguat (ta’kid)
·         Men-tarjih dengan factor luar seperti kesesuaiandengan lahir Al-Qur’an atau sunnah lai, dengan kias, amal ulama terutama para khalifah, dan sebagainya.

Contohnya :

1. حدثنا أبو بكر حد ثنا سفيان بن عيينةَ عن زيد بن أسلم عن عبد الرحمن بن وعلةَ عن ابن عباس قال سمعت رسول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْه وسلَّم يقول أَيما إِهاب دبِغَ فَقد طَهر ( ابن ماجه )
2. حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ طَرِيفٍ الْكُوفِيُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ عَنْ الْأَعْمَشِ وَالشَّيْبَانِيِّ عَنْ الْحَكَمِ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُكَيْمٍ قَالَ أَتَانَا كِتَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لَا تَنْتَفِعُوا مِنْ الْمَيْتَةِ بِإِهَابٍ وَلَا عَصَبٍ ( سنن الترمذى )
Dari kedua hadis tersebut nampak terjadi kontradiksi. Hadis pertama menyatakan sucinya kulit hewan yang telah dibersihkan. Sementara hadis kedua menyatakan larangan menggunakan kulit bangkai. Namun dari kedua hadis di atas tetap yang diunggulkan adalah hadis pertama dengan pertimbangan redaksi tahammul hadis pertama menggunakan sami’tu yang memiliki tingkatan yang lebih kuat dari pada redaksi tahammul dengan kitabah.
4.   Al-Ikhtilaf
Yang dimaksud dengan al-ikhtilaf, al-ikhtilaf min jihah al-mubah, adalah memahami beberapahadits yang tampak saling berlawanan sebagai bentuk pelaksanaan ibadah yang bervariasi dan boleh diikuti dengan cara mengumpulkan semua bentuk pelaksanaan tersebut atau mengamalkan secara bergantian. Penyelesaian dalm bentuk ini hanya terbatas pada hadits-hadits yang menyangkut tata cara pelaksanaan ibadah dan hadits tersebut pun termasuk kategori hadits maqbul (Muqaddimah Ibnu Shalah).

5.   Tawaqquf
Bila dari cara-cara diatas masih belum mendapatka titik temu maka hadits itu di tawaqquf (ditangguhkan). Yakni penyelesaian dengan mendiamkan atau tidak mengamalkan hadits tersebut sementara waktu sampai terdapat dalil lain yang mengunggulkan salah satunya.

6.   Takhyir
Yang dimaksud takhyîr dalam permasalahan ini adalah memilih salah satu dalil yang dikehendaki dari kedua hadits yang bertentangan tersebut untuk diamalkan.Metode penyelesaian ini ditempuh apabila tidak mungkin melakukan ketentuan-ketentuan sebelumnya maupun menunggu ketidakpastian hukum.Oleh sebagian ulama,pendapat ini didasarkan pada wajibnya melaksanakan suatu ketentuan hukum yang telah dibebankan pertama kali bagi seorang mukallaf.

C.     PERINTIS DAN KITAB-KITAB MUKHTALAF HADITS
Ulama’ yang pertama kali menghimpun ilmu Mukhtalifu ‘I-Hadits ini adalah Imam Muhammad ibn Idris Asy-Syafi’iy (150-204 H) dan kitab Al-Umm. Beliau tidak bermaksud menyubkan semua hadits yang tampak bertentangan, tetapi hanya menyebut agar dijadikan sebagai sempel oleh ulama’ lain. Ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa Asy-syafi’iy itu tidak ada maksud untuk menjadikan ilmu itu berdiri sendiri, tetapi beliau hanya menulisnya dalam membahas masalah-masalah dalam kitabnya. Hal tersebut tidak tepat, sebab disamping beliau mengutaraka hadits mukhtalif di dalam kitab Al-Umm-nya, juga menyusun sendiri dalam kitab tertentu yakni Mukhtalif ‘I-Hadits.

Setelah Imam Asy-Syafi’iy, maka lahirlah kitab-kitab sebagai berikut:

v  Ta’wilu Mukhtalifu ‘I-Hadits, karya Al-Hafidh ‘Abdullah bin Muslim bin Qutaibah Ad-Dainury (213-276 H). kitab ini ditulis oleh beliau untuk memberikan jawaban bagi orang yang mengadakan tantangan terhadap hadits; dan menuduh para ahli hadits yang sengaja mengumpulkan hadits-hadits yang saling berlawanan dan meriwayatkan hadits-hadits yang musykil. Dan mengumpulkan hadits yang menurut lahirnya bertentangan, kemiduan diuraikan menjadi hadits yang tidak berlawanan satu sama lain.
v  Musykilu ‘I-Atsar. Karya Imam Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad At-Thahawy (239-321 H). selain beliau al-muhaddits juga terkenal sebgai Al-Faqih. Kitab beliau tersusun dari 4 jilid yang telah dicetak di India tahun 1333 H.
v  Muskyilu ‘I-hadits wa Bayanuhu, karya al-muhaddits Abu Bakr Muhammad bin Al-Hasan (Ibnu Furak) al-anshary Al-Asbihany yang wafat pada tahun 406 H. beliau menyusun beberapa hadits nabawy yang menurut lahirnya diduga serupa, dan berlawanan yang dilemparkan oleh orang-orang yang memusuhi agama. Kemudian beliaua jelaskan hadits-hadits itu, batallah tuduhan mereka. Karena uraian beliau berdasarkan nash-nash juga berpijak pada analisa yang logis. Kitab beliau telah dicetak di India tahun 1362 H.
v  Kitab at-tahqiq fi Ahadits al-Khilaf karya Abu al-faraj ibn al-Jauzy (wafat pada tahun 597 H)



DAFTAR PUSTAKA
Aku Ibnu. Metode Memahami Hadits yang Secara Dzahir Bertentangan. diakses dari http://aku-ibnu.blogspot.com/?zx=3ea46beea9837aab, pada Tanggal 19 Mei 2010.
‘Itr, Nuruddin. 1994. ‘Ulum Al-Hadits 2. Bandung: Dar al-Fikr Damaskus.
Juned, Daniel. 2010. Ilmu Hadits. Jakarta: Erlangga.
Rahman, Fatchur. 1974. Ikhtishar Mushthalahul Hadits. Bandung: Al Ma’arif.
Tim penyusun MKD Sunan Ampel. 2011. Studi Hadits. Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar