trima kasih sudah mampir di blog saya dan jangan bosan mampir yaaa

Senin, 23 Juni 2014

Isu-Isu Kontemporer Islam Kiri



A.Teologi Hasan Hanafi
Menurut Hanafi apa yang dimaksud tauhid bukan merupakan sifat dari sebuah dzat (Tuhan), deskripsi ataupun sekedar konsep kosong yang hanya ada dalam angan belaka, tetapi lebih mengarah untuk sebuah tindakan kongkrit (fi’li); baik dari sisi penafian maupun menetapan (itsbat). Sebab, apa yang di kehendaki dari konsep tauhid tersebut tidak akan bisa dimengerti dan tidak bisa difahami kecuali dengan ditampakkan. Jelasnya, konsep tauhid tidak akan punya makna tanpa direalisakan dalam kehidupan kongkrit.
Perealisasian nafi (pengingkaran) adalah dengan menghilangkan tuhan-tuhan modern, seperti ideologi, gagasan, budaya dan ilmu pengetahuan yang membuat manusia sangat tergantung kepadanya dan menjadi terkotak-kotak sesuai dengan idiologi dan ilmu pengetahuan yang dimiliki dan dipujanya. Realisasi dari Isbat (penetapan) adalah dengan penetapan satu ideologi yang menyatukan dan membebaskan manusia dari belenggu-belenggu tuhan-tuhan modern tersebut.

Dalam pandangan Hanafi disini teologi tidak hanya berupa ide-ide kosong tapi merupakan ide ‘kongkrit’ yang mampu membangkitkan dan menuntun umat dalam mengarungi kehidupan nyata. Adapun statementnya bahwa teologi tidak bisa dibuktikan secara filosofis, sama sebagaimana yang pernah disampaikan al-Farabi, adalah bahwa metodologi teologi tidak bisa mengantarkan kepada keyakinan atau pengetahuan yang menyakinkan tentang Tuhan tetapi baru pada tahap ‘mendekati keyakinan’ dalam pengetahuan tentang Tuhan dan wujud-wujud spiritual lainnya. Sedemikian, sehingga teologi hanya cocok untuk komunitas non-filosofis, bukan kaum filosofis.
Dalam pemikiran Hasan Hanafi ada kesamaan dengan-- cara berfikir Barat, terutama pemikiran Marxis dan Husserl. Pengaruh atau tepatnya kesamaan dengan metode Husserl terlihat ketika Hanafi meletakkan persoalan Arab (Islam) dalam konteksnya sendiri, lepas pengaruh Barat. Statemennya bahwa kemajuan Islam tidak bisa dilakukan dengan cara mengadopsi Barat (westernisasi) tetapi harus didasarkan atas khazanah pemikiran Islam sendiri jelas modal pemikiran Husserl.
Adapun kesamaannya dengan Marxisme terlihat ketika Hanafi menempatkan persoalan sosial praktis sebagai dasar bagi pemikiran teologinya. Teologi dimulai dari titik praktis pembebasan rakyat tertindas. persamaan derajat muslimin dihadapan Barat, Kesamannya dengan metode dialektika Marxis juga terlihat ketika Hanafi menjelaskan perkembangan pemikiran Islam dan usaha yang dilakukan ketika merekonstruksi pemikiran teologisnya dengan menghadapkan teologi dengan filsafat Barat. Hanya saja, bedanya, jika dalam pemikiran Marxis dikatakan bahwa pergerakan dan pembebasan manusia tertindas tersebut semata-mata didorong oleh kekuatan materi dan duniawi, Hanafi memakai prinsip kesejahteraan; bahwa perjuangan mesti memperhatikan kebaikan umum, bukan brutal. Sedemikian, hingga pemikiran Hanafi bisa disebut marxis tetapi tidak marxisme.
Dari sisi gagasan Hanafi dari proyek rekonstruksi kalamnya sesungguhnya bukan sesuatu yang baru dalam makna yang sebenarnya. Apa yang disampaikan bahwa diskripsi zat dan sifat Tuhan adalah deskripsi tentang manusia ideal, telah disampaikan oleh Muktazilah dan kaum sufis. Begitu pula konsepnya tentang tauhid yang ‘mendunia’ telah disampaikan tokoh dari kalangan Syiah, Murtadha Muthahhari. Kelebihan Hanafi disini adalah bahwa ia mampu mengemas konsep-konsepnya tersebut secara lebih utuh, jelas dan up to dete, sehingga terasa baru. Disinilah orisinalitasan pemikiran Hanafi dalam proyek rekonstruksi teologinya.
Apakah pemikiran besar Hanafi akan bisa direalisasikan atau tidak sebagaimana diragukan Boullata, jelas gagasan Hanafi adalah langkah berani dan maju dalam upaya untuk meningkatkan kualitas umat Islam dalam mengejar ketertinggalannya dihadapan Barat. Hanya saja, rekonstruksi yang dilakukan dengan cara mengubah term-term teologi yang bersifat spiritual-religius menjadi sekedar material-duniawi akan bisa menggiring pada pemahaman agama menjadi hanya sebagai agenda sosial, praktis dan fungsional, lepas dari muatan- muatan spiritual.
Wahdaniyah (keesaan), bukan merujuk pada keesaan Tuhan, pensucian Tuhan dari kegandaan (syirk) yang diarahkan pada faham trinitas maupun politheisme, tetapi lebih mengarah eksperimentasi kemanusiaan. Wahdaniyah adalah pengalaman umum kemanusiaan tentang kesatuan, kesatauan tujuan, kesatuan kelas, kesatuan nasib, kesatuan tanah air, kesatuan kebudayaan dan kesatuan kemanusiaan.
Dengan penafsiran-penafsiran terminologi kalam yang serba materi dan mendunia ini, maka apa yang dimaksud dengan istilah tauhid, dalam pandangan Hanafi bukan konsep yang menegaskan tentang keesaan Tuhan yang diarahkan pada faham trinitas maupun politheisme, tetapi lebih merupakan kesatuan pribadi manusia yang jauh dari kemunafikan.

B. Ketidakberdayaan Islam Mewarnai Gerak Sejarah
Realitas yang tampak di depan mata percaturan dunia saat ini menunjukkan betapa umat Islam berada pada posisi tertindas. Permasalahan utama yang muncul pada umat Islam pada umumnya terkait dengan faktor keterbelakangan ekonomi, sosial, dan instabilitas politik. Upaya kritis untuk menyelesaikan permasalahan ini mendesak untuk dilakukan demi menyelamatkan Islam dari kemunduran dan benturan bertubi-tubi dari arus global. Tumpuan utama kemunduran tersebut jelas berawal dari kemiskinan yang melanda sebagian besar masyarakat di negeri-negeri Muslim sendiri. Efek domino atas fenomena kemiskinan muncul  dalam beragam wajah  dan gejala, dari kemerosotan moral, kriminalitas, masalah kesehatan, kedaulatan dan independensi negara, bahkan sampai menghambat aktivitas ritual keberagamaan umat.
Sebelum menuju gagasan alternatif untuk memecahkan permasalahan tersebut, maka perlu terlebih dulu dilakukan pemetaan corak pandangan kaum Muslim sendiri terhadap permasalahan kemiskinan. Setidaknya ada beberapa sudut pemikiran terhadap kemiskinan, yaitu tradisionalis, modernis, dan liberal.
Pemikiran  tradisionalis percaya bahwa permasalahan kemiskinan umat pada hakekatnya adalah ketentuan dan rencana Tuhan. Masalah kemiskinan dan marginalisasi tidak jelas kaitannya dengan globalisasi dan  neoliberalisme. Ia justru dianggap sebagai ujian atas keimanan seorang  yang tidak diketahui manfaat dan mudharatnya, ataupun petaka di balik kemajuan dan pertumbuhan  serta globalisasi bagi umat manusia dan lingkungannya kelak. Akar teologisnya bersandar pada konsepsi sunni tentang predeterminisme (takdir), ketentuan dan rencana Tuhan sebelum manusia diciptakan.

C. Imperialisme Modal Menggencet  Dunia  Islam
Jatuhnya kekuasaan politik Islam ditandai dengan ambruknya tiga kerajaan Islam baru pada abad ke-16, yaitu  utsmaniyyah di Asia kecil, Anatolia, Irak, Suriah, dan Afrika Utara;  safawwiyah di Iran; dan Mongol di India. Sejak kemundurannya, secara berangsur negeri-negeri tersebut dibanjiri penetrasi modal dari kaum kolonialis. Penetrasi modal pertama kali adalah pembuatan terusan Suez yang membawa bencana bagi kehidupan ekonomi dan sosial mesir. Setelah itu berangsur pula penetrasi pada negara Iran, Aljazair, Tunisia dan negeri muslim lainnya. Kepemimpinan Islam tampak sebagai kumpulan aristokrat yang sukses menjadi elit tetapi pandangan politiknya konservatif. Potensi revolusioner telah lumpuh oleh pembangunan  yang bernuansa kapitalistik di negeri mereka.
Dari kekalahan negeri-negeri Islam tersebut akhirnya merubah hubungan ekonomi politik antara negara Muslim dan bukan Muslim. Nyatalah bahwa system ekonomi dunia yang hidup saat  ini bercorak eksploitatif. Setidaknya terdapat beberapa karakteristik yang membuktikan hal ini, yaitu:
1.      Promethean, yaitu menuju suatu penguasaan tanpa batas atas kekuatan materi untuk kepentingan manusia.
2.      Productiviste, yaitu memproduksi barang dan jasa sekaligus melipatgandakannya tanpa batas rasional kebutuhan manusia. Tuntutan untuk mengkonsumsi terus menerus suatu produk selalu dipropagandakan demi keuntungan kapitalisme.
3.      Expansionisme, yaitu perluasan akses terhadap keberlangsungan hidup kapitalisme. yang mapan, stabil dengan menyesuaikan spirit keagamaan pada modernitas dan pembangunan.Mendorong agama untuk menjadi urusan privat dan tidak diperlukan untuk menjawab semua masalah sosial.
4.      Marchand, yaitu system ekonomi dunia yang berjalan melalui perdagangan internasional dan pertumbuhan ekonomi nasional.

Sumber:

Prasetyo, Eko.2002.Islam Kiri Melawan Kapitalisme Modal – dari Wacana Menuju Gerakan.Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offsett. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar