A.Teologi Hasan Hanafi
Menurut Hanafi apa
yang dimaksud tauhid bukan merupakan sifat dari sebuah dzat (Tuhan), deskripsi
ataupun sekedar konsep kosong yang hanya ada dalam angan belaka, tetapi lebih
mengarah untuk sebuah tindakan kongkrit (fi’li); baik dari sisi penafian maupun
menetapan (itsbat). Sebab, apa yang di kehendaki dari konsep tauhid tersebut
tidak akan bisa dimengerti dan tidak bisa difahami kecuali dengan ditampakkan. Jelasnya, konsep tauhid tidak akan punya
makna tanpa direalisakan dalam kehidupan kongkrit.
Perealisasian nafi (pengingkaran)
adalah dengan menghilangkan tuhan-tuhan modern, seperti ideologi, gagasan,
budaya dan ilmu pengetahuan yang membuat manusia sangat tergantung kepadanya
dan menjadi terkotak-kotak sesuai dengan idiologi dan ilmu pengetahuan yang
dimiliki dan dipujanya. Realisasi dari Isbat (penetapan) adalah dengan penetapan satu ideologi yang menyatukan dan
membebaskan manusia dari belenggu-belenggu tuhan-tuhan modern tersebut.
Dalam pandangan Hanafi
disini teologi tidak hanya berupa ide-ide kosong tapi merupakan ide ‘kongkrit’
yang mampu membangkitkan dan menuntun umat dalam mengarungi kehidupan nyata. Adapun statementnya bahwa teologi tidak bisa
dibuktikan secara filosofis, sama sebagaimana yang pernah disampaikan
al-Farabi, adalah bahwa metodologi teologi tidak bisa mengantarkan kepada
keyakinan atau pengetahuan yang menyakinkan tentang Tuhan tetapi baru pada
tahap ‘mendekati keyakinan’ dalam pengetahuan tentang Tuhan dan wujud-wujud
spiritual lainnya. Sedemikian, sehingga teologi hanya cocok untuk komunitas
non-filosofis, bukan kaum filosofis.
Dalam pemikiran Hasan
Hanafi ada kesamaan dengan-- cara berfikir Barat,
terutama pemikiran Marxis dan Husserl. Pengaruh atau tepatnya kesamaan dengan metode
Husserl terlihat ketika Hanafi meletakkan persoalan Arab (Islam) dalam
konteksnya sendiri, lepas pengaruh Barat. Statemennya bahwa kemajuan Islam
tidak bisa dilakukan dengan cara mengadopsi Barat (westernisasi) tetapi harus
didasarkan atas khazanah pemikiran Islam sendiri jelas modal pemikiran Husserl.
Adapun kesamaannya
dengan Marxisme terlihat ketika Hanafi menempatkan persoalan sosial praktis
sebagai dasar bagi pemikiran teologinya. Teologi dimulai dari titik praktis
pembebasan rakyat tertindas. persamaan derajat muslimin dihadapan Barat,
Kesamannya dengan metode dialektika Marxis juga terlihat ketika Hanafi
menjelaskan perkembangan pemikiran Islam dan usaha yang dilakukan ketika
merekonstruksi pemikiran teologisnya dengan menghadapkan teologi dengan
filsafat Barat. Hanya saja, bedanya, jika dalam pemikiran Marxis dikatakan
bahwa pergerakan dan pembebasan manusia tertindas tersebut semata-mata didorong
oleh kekuatan materi dan duniawi, Hanafi memakai prinsip kesejahteraan; bahwa
perjuangan mesti memperhatikan kebaikan umum, bukan brutal. Sedemikian, hingga
pemikiran Hanafi bisa disebut marxis tetapi tidak marxisme.
Dari sisi gagasan
Hanafi dari proyek rekonstruksi kalamnya sesungguhnya bukan sesuatu yang baru
dalam makna yang sebenarnya. Apa yang disampaikan bahwa diskripsi zat dan sifat Tuhan adalah deskripsi
tentang manusia ideal, telah disampaikan oleh Muktazilah dan kaum sufis. Begitu
pula konsepnya tentang tauhid yang ‘mendunia’ telah disampaikan tokoh dari
kalangan Syiah, Murtadha Muthahhari. Kelebihan Hanafi disini adalah bahwa ia
mampu mengemas konsep-konsepnya tersebut secara lebih utuh, jelas dan up to dete, sehingga terasa baru. Disinilah
orisinalitasan pemikiran Hanafi dalam proyek rekonstruksi teologinya.
Apakah pemikiran besar
Hanafi akan bisa direalisasikan atau
tidak sebagaimana diragukan Boullata, jelas gagasan Hanafi adalah langkah
berani dan maju dalam upaya untuk meningkatkan kualitas umat Islam dalam
mengejar ketertinggalannya dihadapan Barat. Hanya saja, rekonstruksi yang
dilakukan dengan cara mengubah term-term teologi yang bersifat
spiritual-religius menjadi sekedar material-duniawi akan bisa menggiring pada
pemahaman agama menjadi hanya sebagai agenda sosial, praktis dan fungsional,
lepas dari muatan- muatan spiritual.
Wahdaniyah (keesaan), bukan merujuk pada keesaan
Tuhan, pensucian Tuhan dari kegandaan (syirk) yang diarahkan pada faham
trinitas maupun politheisme, tetapi lebih mengarah eksperimentasi kemanusiaan.
Wahdaniyah adalah pengalaman umum kemanusiaan tentang kesatuan, kesatauan
tujuan, kesatuan kelas, kesatuan nasib, kesatuan tanah air, kesatuan kebudayaan
dan kesatuan kemanusiaan.
Dengan
penafsiran-penafsiran terminologi kalam yang serba materi dan mendunia ini,
maka apa yang dimaksud dengan istilah tauhid, dalam pandangan Hanafi bukan
konsep yang menegaskan tentang keesaan Tuhan yang diarahkan pada faham trinitas
maupun politheisme, tetapi lebih merupakan kesatuan pribadi manusia yang jauh
dari kemunafikan.
B. Ketidakberdayaan Islam Mewarnai Gerak
Sejarah
Realitas yang tampak di depan mata percaturan dunia
saat ini menunjukkan betapa umat Islam berada pada posisi tertindas.
Permasalahan utama yang muncul pada umat Islam pada umumnya terkait dengan
faktor keterbelakangan ekonomi, sosial, dan instabilitas politik. Upaya kritis
untuk menyelesaikan permasalahan ini mendesak untuk dilakukan demi
menyelamatkan Islam dari kemunduran dan benturan bertubi-tubi dari arus global.
Tumpuan utama kemunduran tersebut jelas berawal dari kemiskinan yang melanda
sebagian besar masyarakat di negeri-negeri Muslim sendiri. Efek domino atas
fenomena kemiskinan muncul dalam beragam
wajah dan gejala, dari kemerosotan
moral, kriminalitas, masalah kesehatan, kedaulatan dan independensi negara, bahkan
sampai menghambat aktivitas ritual keberagamaan umat.
Sebelum menuju gagasan alternatif untuk memecahkan
permasalahan tersebut, maka perlu terlebih dulu dilakukan pemetaan corak
pandangan kaum Muslim sendiri terhadap permasalahan kemiskinan. Setidaknya ada
beberapa sudut pemikiran terhadap kemiskinan, yaitu tradisionalis, modernis, dan
liberal.
Pemikiran
tradisionalis percaya bahwa permasalahan kemiskinan umat pada hakekatnya
adalah ketentuan dan rencana Tuhan. Masalah kemiskinan dan marginalisasi tidak
jelas kaitannya dengan globalisasi dan
neoliberalisme. Ia justru dianggap sebagai ujian atas keimanan
seorang yang tidak diketahui manfaat dan
mudharatnya, ataupun petaka di balik kemajuan dan pertumbuhan serta globalisasi bagi umat manusia dan
lingkungannya kelak. Akar teologisnya bersandar pada konsepsi sunni tentang predeterminisme
(takdir), ketentuan dan rencana Tuhan sebelum manusia diciptakan.
C. Imperialisme Modal Menggencet Dunia
Islam
Jatuhnya kekuasaan politik Islam ditandai dengan
ambruknya tiga kerajaan Islam baru pada abad ke-16, yaitu utsmaniyyah di Asia kecil, Anatolia, Irak,
Suriah, dan Afrika Utara; safawwiyah di
Iran; dan Mongol di India. Sejak kemundurannya, secara berangsur negeri-negeri
tersebut dibanjiri penetrasi modal dari kaum kolonialis. Penetrasi modal
pertama kali adalah pembuatan terusan Suez yang membawa bencana bagi kehidupan
ekonomi dan sosial mesir. Setelah itu berangsur pula penetrasi pada negara
Iran, Aljazair, Tunisia dan negeri muslim lainnya. Kepemimpinan Islam tampak
sebagai kumpulan aristokrat yang sukses menjadi elit tetapi pandangan
politiknya konservatif. Potensi revolusioner telah lumpuh oleh pembangunan yang bernuansa kapitalistik di negeri mereka.
Dari kekalahan negeri-negeri Islam tersebut
akhirnya merubah hubungan ekonomi politik antara negara Muslim dan bukan
Muslim. Nyatalah bahwa system ekonomi dunia yang hidup saat ini bercorak eksploitatif. Setidaknya
terdapat beberapa karakteristik yang membuktikan hal ini, yaitu:
1. Promethean, yaitu menuju suatu penguasaan tanpa
batas atas kekuatan materi untuk kepentingan manusia.
2.
Productiviste, yaitu
memproduksi barang dan jasa sekaligus melipatgandakannya tanpa batas rasional
kebutuhan manusia. Tuntutan untuk mengkonsumsi terus menerus suatu produk
selalu dipropagandakan demi keuntungan kapitalisme.
3.
Expansionisme, yaitu
perluasan akses terhadap keberlangsungan hidup kapitalisme. yang mapan, stabil
dengan menyesuaikan spirit keagamaan pada modernitas dan pembangunan.Mendorong
agama untuk menjadi urusan privat dan tidak diperlukan untuk menjawab semua
masalah sosial.
4.
Marchand, yaitu system
ekonomi dunia yang berjalan melalui perdagangan internasional dan pertumbuhan
ekonomi nasional.
Sumber:
Prasetyo,
Eko.2002.Islam Kiri Melawan Kapitalisme Modal – dari Wacana Menuju Gerakan.Yogyakarta:
Pustaka Pelajar Offsett.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar