trima kasih sudah mampir di blog saya dan jangan bosan mampir yaaa

Jumat, 13 Juni 2014

Pancasila Sebagai Sistem Etika



A.    Pengertian Etika
Secara etimologi “etika” berasal dari bahasa Yunani yaitu “ethos” yang berarti watak, adat ataupun kesusilaan. Jadi etika pada dasarnya dapat diartikan sebagai suatu kesediaan jiwa seseorang untuk senantiasa patuh kepada seperangkat aturan-aturan kesusilaan (Kencana Syafiie, 1993). Dalam konteks filsafat, etika membahas tentang tingkah laku manusia dipandang dari segi baik dan buruk. Etika lebih banyak bersangkut dengan prinsip-prinsip dasar pembenaran dalam hubungan dengan tingkah laku manusia (Kattsoff, 1986).
Etika adalah ilmu yang membahas  tentang  bagaimana  dan  mengapa  kita mengikuti suatu ajaran tertentu atau bagaimana kita bersikap dan bertanggung jawab  dengan berbagai ajaran moral. Kedua kelompok etika itu adalah sebagai berikut :[1]

1.        Etika Umum, mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia.
2.        Etika Khusus, membahas prinsip-prinsip tersebut di atas dalam hubungannya dengan berbagai aspek kehidupan manusia, baik sebagai individu (etika individual) maupun  mahluk sosial (etika sosial)
Beberapa motivasi manusia berprilaku baik dan berprilaku buruk dan jahat.
1.        Motivasi manusia berprilaku baik, antara lain:
a.         Karena adanya kesadaran moral (hati nurani). Manusia berbuat baik, untuk kebaikan itu sendiri (Immanuel .Kant: Imperatif Kategoris).
b.         Karena takut akan sanksi yang diterimanya, karena sanksi /hukuman pada hakekatnya adalah memberikan rasa yang tidak enak, tidak nyaman.
c.         Karena merasa bahagia (senang).
d.        Karena merasa berguna berguna (bermanfaat), menurut faham Utilitarisme.
e.         Supaya dapat pujian, simpatis.
f.          Untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
g.         Merasakan kedamaian dan ketentraman hidup.

2.        Motivasi manusia berprilaku buruk/ jahat, antara lain:
a.         Karena keterpaksaan, merasa tidak ada jalan lain, walaupun sejatinya hidup adalah pilihan.
b.         Karena mudah dan cepat mencapai tujuan (menghalalkan segala cara).
c.         Tidak takut akan sanksi yang diterimanya
d.        Karena kebiasaan dan pengaruh lingkungan
e.         Karena tidak tegak dan tegasnya aturan dan sanksi
f.          Meredup dan hilangnya hati nurani sehingga kedap terhadap penderitaan orang lain.
Maka untuk menjaga:
a.         Keberadaan dan tumbuhnya hati nurani di dalam hati, supaya kita, mau dan berani untuk intropeksi, jawa: mulat sariro hangrosowani (mau dan berani memeriksa bathin dan perbuatan kita, dan sekaligus berani menyalahkan dan memberi hukuman untuk diri sendiri). Jika melakukan kesalahan, cepat diketahui dan cepat minta maaf dan bertobat serta berjanji tidak akan mengulangi lagi.
b.         Terhindar dari prilaku dosa dan buruk/jahat, kita harus selalu sadar bahwa kita sebagai makhluk Tuhan dan makhluk beragama, maka sebagai konsekuensinya harus taat hukum Tuhan (hubungan secara vertikal antara Tuhan dan manusia).
Selain itu kita juga harus sadar secara kodrati manusia adalah makhluk sosial (Zoon Politicon, Homo  Socius),  maka  kita  harus  hidup  bersama orang  lain,  bahkan berbuat sesuatu untuk kebaikan/kesejahteraan lain orang lain. Konsep mencintai sesama itu bisa kita  temukan  dalam  filosofis  jawa,  yakni  Asih  mring  sesamaning  dumadi  (mencintai sesama ciptaan Tuhan), dalam agama Kristiani (konsep cinta kasih): Kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri, dalam agama Hindu: Tat Twam Asi (Itulah Kamu) Ahimsa (tanpa kekerasan dari Mahatma Gandhi) Sosro Kartono( Tokoh Kebatinan Jawa): Adanya aku karena engkau, dalam agama Islam: Rahmatan lil alamin( untuk kesejahteraan seluruh umat manusia),  Homo homini sallus: Aku ada, kalau berguna bagi orang lain. Dari konsep ini semua akan menumbuhkan rasa simpati dan empati pada orang lain, sehingga jika berbuat jahat pada orang lain, kita akan merasakan sebaliknya, bagaimana kalau kita yang mengalami  sendiri,  dalam  jawa  disebut  tepo  sliro  (seandainya  saya  sendiri  yang mengalami).
Pada dasarnya etika membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan nilai-nilai seperti nilai baik dan buruk, nilai susila atau tidak susila, nilai kesopanan, kerendahan hati dan sebagainya.[2]

B.    Pengertian Moral
Moral merupakan patokan-patokan, kumpulan peraturan lisan maupun tertulis tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak  agar mnejadi manusia yang lebih baik.
Moral dengan etika hubungannya sangat erat, sebab etika suatu pemikiran kritis dan mendasar tetang ajaran-ajaran dan pandangan moral dan etika merupakan ilmu pengetahuan yang membahas prinsip-prinsip moralitas (Devos, 1987).
Etika merupakan tingkah laku yang bersifat umum universal berwujud teori dan bermuara ke moral, sedangkan moral bersifat tindakan lokal, berwujud praktek dan berupa hasil buah dari etika. Dalam etika seseorang dapat memahami dan mengerti bahwa mengapa dan atas dasar apa manusia harus hidup menurut norma-norma tertentu, inilah kelebihan etika dibandingkan dengan moral. Kekurangan etika adalah tidak berwenang menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan seseorang, sebab wewenang ini ada pada ajaran moral.[3]

C.     Pengertian Norma
Norma adalah aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan yang mengikat warga masyarakat atau kelompok tertentu dan menjadi panduan, tatanan, padanan  dan  pengendali  sikap  dan  tingkah  laku  manusia.  Agar  manusia mempunyai harga, moral mengandung integritas dan martabat pribadi manusia. Sedangkan derajat kepribadian sangat ditentukan oleh moralitas yang dimilikinya, maka makna moral yang terkandung dalam kepribadian seseorang tercermin  dari  sikap  dan  tingkah  lakunya.  Oleh  karena  itu,  norma  sebagai penuntun, panduan atau pengendali sikap dan tingkah laku manusia.[4]



D.     Pengertian Nilai
Nilai pada hakikatnya suatu sifat atau kualitas yang melekat pada suatu  objek,  namun  bukan  objek  itu  sendiri.Nilai  merupakan  kualitas  dari sesuatu  yang  bermanfaat  bagi  kehidupan  manusia,  yang  kemudian  nilai dijadikan landasan, alasan dan motivasi dalam bersikap dan berperilaku baik disadari maupuin tidak disadari. Nilai merupakan harga untuk manusia sebagai pribadi yang utuh, misalnya kejujuran, kemanusiaan (Kamus Bhasa Indonesia, 2000).
Nilai adalah sesuatu yang berharga, berguna, indah, memperkaya batin dan menyadarkan manusia akan harkat, martabatnya. Nilai bersumber pada budi yang berfungsi mendorong dan mengarahkan sikap dan perilaku manusia. Nilai sebagai suatu sistem (sistem nilai) merupakan salah satu wujud kebudayaan, disamping sistem sosial dan karya.
Cita-cita, gagasan, konsep dan ide tentang sesuatu adalah wujud kebudayaan sebagai sistem nilai. Oleh karena itu, nilai dapat dihayati atau dipersepsikan dalam konteks kebudayaan, atau sebagai wujud kebudayaan yang abstrak. Manusia dalam memilih nilai-nilai menempuh berbagai cara  yang  dapat  dibedakan  menurut  tujuannya,  pertimbangannya,  penalarannya, dan kenyataannya.
Nilai sosial berorientasi kepada hubungan antarmanusia dan menekankan pada segi-segi kemanusiaan yang luhur, sedangkan nilai politik berpusat pada kekuasaan serta pengaruh yang terdapat dalam kehidupan masyarakat maupun politik. Disamping teori nilai diatas, Prof. Notonogoro membagi nilai dalam tiga kategori, yaitu sebagai berikut:[5]
1.     Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi unsur manusia.
2.     Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk melakukan aktivitas.
3.     Nilai kerohanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia. Nilai kerohanian dapat dirinci sebagai berikut :
a.       Nilai kebenaran, yaitu bersumber pada unsur rasio manusia, budi dan cipta.
b.       Nilai keindahan, yaitu bersumber pada unsur rasa atau intuisi.
c.       Nilai  moral,  yaitu  bersumber  pada  unsur  kehendak  manusia  atau  kemauan  (karsa, etika)
d.      Nilai religi, yaitu bersumber pada nilai ketuhanan, merupakan nilai kerohanian yang tertinggi dan mutlak. Nilai ini bersumber kepada keyakinan dan keimanan manusia kepada Tuhan
Nilai akan lebih bermanfaat dalam menuntun sikap dan tingkah laku manusia, maka harus lebiih di kongkritkan lagi secara objektif, sehingga mamudahkannya dalam menjabarkannya dalam tingkah laku, misalnya kepatuhan dalam norma hukum, norma agama, norma adat istiadat.

E.    Etika Pancasila
Etika  merupakan  cabang ilmu filsafat yang membahas masalah baik dan buruk. Ranah   pembahasannya   meliputi   kajian  praktis   dan   refleksi  filsafati  atas moralitas   secara   normatif.    Kajian   praktis   menyentuh    moralitas   sebagai perbuatan    sadar   yang   dilakukan    dan    didasarkan    pada   norma-norma masyarakat yang mengatur perbuatan baik (susila)  dan buruk (asusila).  Adapun refleksi filsafati mengajarkan bagaimana tentang moral filsafat mengajarkan bagaimana tentang moral tersebut dapat dijawab secara rasional dan bertanggungjawab.
Rumusan Pancasila yang otentik dimuat dalam Pembukan UUD 1945 alinea keempat. Dalam penjelasan  UUD  1945  yang  disusun  oleh  PPKI  ditegaskan  bahwa  “pokok-pokok  pikiran  yang termuat dalam Pembukaan (ada empat, yaitu persatuan, keadilan, kerakyatan dan ketuhanan menurut kemanusiaan yang adil dan beradab) dijabarkan ke dalam pasal-pasal Batang Tubuh. Dan menurut TAP MPRS No.XX/MPRS/1966 dikatakan bahwa Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum. Sebagai sumber segala sumber, Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum.
Sebagai  sumber  segala  sumber,  Pancasila  merupakan  satu-satunya  sumber  nilai  yang berlaku di tanah air. Dari satu sumber tersebut diharapkan mengalir dan memancar nilai-nilai ketuhanan, kemanusian, persatuan, kerakyatan penguasa. Hakikat Pancasila pada dasarnya merupakan satu sila yaitu gotong royong atau cinta kasih dimana sila tersebut melekat pada setiap insane, maka nilai-nilai Pancasila identik dengan kodrat manusia. oleh sebab itu penyelenggaraan Negara yang dilakukan oleh pemerintah tidak boleh bertentangan dengan harkat dan martabat manusia, terutama manusia yang tinggal di wilayah nusantara.
Pancasila sebagai core philosophy bagi  kehidupan bermasyarakat,  berbangsa,  dan bernegara,   juga  meliputi   etika  yang  sarat  dengan  nilai-nilai   filsafati;   jika memahami  Pancasila tidak  dilandasi  dengan  pemahaman  segi-segi filsafatnya, maka  yang  ditangkap   hanyalah   segi-segi  filsafatnya,   maka  yang  ditangkap hanyalah segisegi fenomenalnya saja, tanpa menyentuh inti hakikinya.
Pancasila merupakan  hasil kompromi  nasional  dan  pernyataan  resmi  bahwa bangsa Indonesia  menempatkan  kedudukan  setiap warga negara secara sama, tanpa  membedakan  antara  penganut  agama  mayoritas  maupun   minoritas. Selain   itu  juga  tidak  membedakan   unsur   lain  seperti  gender,   budaya,   dan daerah.
Nilai-nilai Pancasila bersifat universal yang memperlihatkan napas humanism, karenanya Pancasila dapat dengan mudah diterima oleh siapa saka. Sekalipun Pancasila memiliki sifat universal, tetapi tidak begitu saja dapat dengan mudah diterima oleh semua bangsa. Perbedaannya terletak pada fakta sejarah bahwa nilai-nilai secara sadar dirangkai dan disahkan menjadi satu kesatuan yang berfungsi sebagai basis perilaku politik dan sikap moral bangsa. Dalam arti bahwa Pancasila adalah milik khas bangsa Indonesia dan sekaligus menjadi identitas bangsa berkat legitimasi moral dan budaya bangsa Indonesia sendiri. Nilai-nilai khusus yang termuat dalam Pancasila dapat ditemukan dalam sila-silanya.
Pancasila sebagai nilai dasar yang fundamental adalah seperangkat nilai yang terpadu berkenaan  dengan  hidup  bermasyarakat,  berbangsa,  dan  bernegara.  Apabila  kita  memahami pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, yang pada hakikatnya adalah nilai-nilai Pancasila.
Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 dapat dinyatakan sebagai pokok-pokok kaidah Negara yang fundamental, karena di dalamnya terkandung pula konsep-konsep sebagai sebagai berikut:
a.          Dasar-dasar pembentukan Negara, yaitu tujuan Negara, asas politik Negara (Negara Republik Indonesia dan berkedaulatan rakyat), dan Negara asas kerohanian Negara (Pancasila).
b.         Ketentuan  diadakannya  undang-undang  dasar,  yaitu  “….. maka  disusunlah  kemerdekaan kebangsaan Indonesia dalam suatu undang-undang dasar Negara Indonesia…”. Hal ini menunjukkan adanya sumber hukum.
Nilai  dasar  yang  fundamental  suatu  Negara  dalam  hukum  mempunyai   hakikat  dan kedudukan yang tetap kuat dan tidak berubah, dalam arti dengna jalan hukum apapun tidak mungkin lagi untuk dirubah. Berhubung Pembukaan UUD 1945 itu memuat nilai-nilai dasar yang fundamental, maka Pembukaan UUD 1945 yang di dalamnya terdapat Pancasila tidak dapat diubah secara hukum. Apabila terjadi perubahan berarti pembubaran Negara Proklamasi 17 Agustus 1945.
Tataran  nilai  yang  terkandung   dalam  Pancasila sesuai  dengan  system  nilai dalam  kehidupan  manusia.   Secara   teoritis  nilai-nilai  Pancasila  dapat  dirinci menurut  jenjang dan jenisnya.[6]
1.      Menurut jenjangnya sebagai berikut:
a.          Nilai Religius
Nilai ini menempati nilai yang tertinggi dan melekat / dimiliki Tuhan Yang Maha Esa  yaitu  nilai yang Maha Agung,  Maha Suci,  Absolud  yang tercermin pada Sila pertama Pancasila yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
b.         Nilai Spiritual
Nilai ini melekat pada manusia,  yaitu budi pekerti,  perangai,  kemanusiaan dan kerohanian yang tercermin pada sila  kedua Pancasila yaitu ”Kemanusiaan  yang adil  dan beradab”.
c.          Nilai Vitalitas
Nilai ini  melekat  pada  semua  makhluk  hidup,   yaitu  mengenai  daya  hidup, kekuatan  hidup  dan  pertahanan  hidup  semua makhluk.  Nilai ini  tercermin pada sila  ketiga dan keempat dalam Pancasila yaitu “Persatuan  Indonesia”  dan “Kerakyatan   yang   dipimpin   oleh   hikmah   kebijaksanaan   dalam permusyawaratan / perwakilan”
d.         Nilai Moral
Nilai ini melekat pada prilaku hidup semua manusia,  seperti asusila,  perangai, akhlak, budi pekerti, tata adab, sopan santun, yang tercermin pada sila  kedua Pancasila yaitu “Kemanusiaan yang adil  dan Beradab”.
e.          Nilai Materil
Nilai  ini  melekat  pada  semua  benda-benda   dunia.   Yang  wujudnya   yaitu jasmani,   badani,   lahiriah,   dan  kongkrit.   Yang  tercermin   dalam  sila   kelima Pancasila yakni “Keadilan sosial bagi  seluruh rakyat Indonesia”



.
2.      Menurut jenisnya sebagai berikut:
a.       Nilai Ilahiah 
Nilai yang dimiliki  Tuhan  Yang Maha Esa,  yang melekat pada  manusia  yaitu  berwujud  harapan,  janji,  keyakinan,  kepercayaan, persaudaraan, persahabatan.
b.      Nilai  Etis  
Nilai  yang  dimiliki  dan  melekat  pada  manusia,   yaitu berwujud keberanian, kesabaran, rendah hati, murah hati, suka menolong, kesopanan, keramahan.
c.       Nilai Estetis 
Nilai yang melekat pada semua makhluk duniawi,  yaitu berupa keindahan, seni, kesahduan, keelokan, keharmonisan.
d.      Nilai  Intelek  
Nilai yang melekat  pada  makhluk   manusia,   berwujud   ilmiah, rasional, logis, analisis, akaliah. Selanjutnya  secara konsepsional  nilai-nilai  yang terkandung  dalam  Pancasila terdiri dari nilai dasar, nilai instrumental, nilai praksis.
e.       Nilai dasar
Merupakan  prinsip  yang bersifat  sangat Abstrak,  umum-universal  dan  tidak terikat   oleh   ruang   dan   waktu.    Dengan  kandungan   kebenaran   bagaikan Aksioma,   berkenaan  dengan  eksistensi,   sesuai  cita-cita,   tujuan,   tatanan  dasar dan ciri khasnya yang pada dasarnya tidak berubah sepanjang zaman.
Nilai dasar Pancasila bersifat Abadi,  Kekal,  yang tidak dapat berubah,  wujudnya ialah sila-sila Pancasila :  Ketuhanan  Yang Maha Esa,  kemanusiaan yang adil  dan beradab,  Persatuan  Indonesia,  Kerakyatan  yang dipimpin  oleh  hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan dan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Juga  dapat ditemukan dalam 4  alinea pembukaan UUD  1945 dan pokok-pokok pikiran yaitu;
Dalam pembukaan UUD  1945 :
Alinia 1= mencerminkan  keyakinan kemerdekaan ialah hak segala bangsa, perikemanusian dan perikeadilan. Konsekuensi logisnya adalah penghapusan penjajahan diatas muka bumi.

a.          Nilai Instrumental :
Berupa penjabaran nilai dasar, yaitu arahan kinerja untuk kurun waktu tertentu dan  kondisi  tertentu.   Sifat   kontektual,   harus  disesuaikan  dengan  tuntutan jaman.  Nilai Instrumental  berupa kebijakan,  strategi,  system,  rencana,  program dan proyek.
Pelaksanaan umum dari nilai dasar,  biasanya dari wujud  norma sosial ataupun norma  hukum  yang selanjutnya  akan  terkristalisasi  dalam  lembaga- lembaga yang bersifat dinamik. Menjabarkan nilai dasar yang umum kedalam wujud kongkrit,   sehingga  dapat   sesuai  dengan  perkembangan   jaman,   merupakan semacam tafsir politik terhadap nilai dasar umum tersebut.
Nilai instrummental  terpengaruh  oleh  waktu,  keadaan,  dan tempat,  sehingga sifat  dinamis,  berubah,  berkembang,  dan enovatif.  Kontektualisasi nilai  dasar harus  dijabarkan   secara  kreatif  dan   dinamik   kedalam  nilai  instrumental penjabaran nilai dasar terwujud ke  dalam:
TAP  MPR,  PROPENAS  UNDANG-UNDANG,  DAN   PERATURAN PELAKSANAAN.
b.         Nilai Praksis
Nilai yang dilaksanakan dalam kenyataan hidup  sehari-hari,  istilah “PRAKSIS” tidak  seluruhnya  sama  maknanya  dengan  istilah  “PRAKTEK”.   Praksis  harus selalu Pased on Values, sedangkan Praktek bisa  bersifat Value Free, maka secara hierarkhis praksisi berada dibawah nilai instrumental dan menjabarkan nilai instrumental tersebut secara taat asas  (konsisten).
Merupakan   interaksi   antara   nilai   instrumental   dengan   situasi   kongkrit padatempat dan waktu tertentu.juga  merupakan gelanggang pertarungan antara idealisme dengan realitas,  yang tidak dapat sepenuhnya kita kuasai, ada  kalanya justru  kondisi objektif itu yang jauh  lebih kuat dari nilai praksis berupa nilai yang  sebenarnya  kita  laksanakan  dalam  kehidupan   kenyataan  sehari-hari, contohnya = memelihara persahabatan.
Berbagai  wujud  penerapan  Pancasila dalam  kenyataan  sehari-hari,   baik  oleh para   penyelenggara   Negara   maupun   oleh   masyarakat   Indonesia    sendiri, misalnya dalam  kerukunan  hidup  beragama,   praksisnya:   silahturahmi antar umat beragama,  melakukan dialog antar umat beragama,  toleransi dan saling menghormati.antar umat beragama.

Aktualisasi Pancasila sebagai dasar etika tercermin dalam sila-silanya, yaitu:
a.     Sila pertama: menghormati setiap orang atau warga negara atas berbagai kebebasannya dalam menganut agama dan kepercayaannya masing- masing,    serta   menjadikan    ajaran-ajaran   sebagai  anutan   untuk   menuntun ataupun mengarahkan jalan hidupnya.
b.      Sila kedua:   menghormati   setiap  orang  dan  warga  negara  sebagai  pribadi (personal)  “utuh  sebagai  manusia”,  manusia  sebagai subjek  pendukung, penyangga,  pengemban,  serta pengelola hak-hak dasar kodrati yang merupakan suatu keutuhan dengan eksistensi dirinya secara bermartabat.
c.      Sila ketiga:    bersikap   dan   bertindak   adil     dalam   mengatasi   segmentasi- segmentasi atau primordialisme sempit dengan jiwa  dan semangat “Bhinneka Tunggal Ika”-“bersatu dalam perbedaan” dan “berbeda dalam persatuan”.
d.     Sila keempat: kebebasan, kemerdekaan, dan kebersamaan dimiliki dan dikembangkan dengan dasar musyawarah untuk mencapai kemufakatan secara jujur dan terbuka dalam menata berbagai aspek kehidupan.
e.      Sila kelima:   membina  dan  mengembangkan  masyarakat  yang  berkeadilan sosial yang mencakup kesamaan derajat  (equality)  dan pemerataan (equity)  bagi setiap orang atau setiap warga negara.
Sila-sila dalam Pancasila merupakan satu kesatuan integral dan integrative menjadikan  dirinya  sebagai sebagai referensi kritik  sosial kritis,  komprehensif, serta sekaligus evaluatif bagi  etika dalam kehidupan bermasyarakat,  berbangsa ataupun bernegara. Konsekuensi dan implikasinya ialah bahwa norma etis yang mencerminkan satu sila  akan mendasari dan mengarahkan sila-sila lain. [7]


[1] Rahmatullah. Modul Pendidikan Pancasila. (Makasar: Univ. Hasanudin. 2008). Hal. 23-24
[2] Ibid. hal. 26-27
[3] Sapriya. Konsep Dasar Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kemenag RI. 2012). Hal. 31-32
[4] Ibid. hal. 34
[5] Di ambil dari rowlandpasaribu.files.wordpress.com/2012/10/bab-4-pancasila-sebagai-etika-politik1.pdf
[6] Di ambil dari ELLY_MALIHAH/Memahami_Pancasila%2C_Elly_Malihah/PANCASILA_SEBAGAI_ETIKA.pdf
[7] Sapriya. Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kemenag RI. 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar