A. Pengertian Kecerdasan
Moral
Kecerdasan
(Intelligence) adalah kemampuan atau kekuatan untuk melakukan sesuatu
dan memecahkan problem yang dihadapi. Ciri-ciri umum seseorang memimiliki
kecerdasan, yaitu: mampu memahami dan menyelesaikan problem degan cepat,
memiliki kemampuan daya ingat yang kuat, kreatifitas tinggi, serta imajinasi
yang berkembang.[1]
Kecerdasan
moral adalah kemampuan untuk merenungkan mana yang benar dan mana yang salah,
dengan menggunakan sumber emosional dan intelektual pikiran manusia. Indikator
kecerdasan moral adalah bagaimana seseoarang memiliki pengetahuan tentang moral
yang benar dan yang buruk, kemudian ia mampu menginternalisasikan moral yang
benar ke dalam kehidupan nyata dan menghindarkan diri dari moral yang buruk.
Seorang guru yang memilki kecerdasan moral, akan
merefleksikan pengetahuannya tentang moral yang benar kedalam kehidupan nyata,
menghindarkan diri dari moral yang buruk, serta mampu memberi teladan yang baik
bagi anak didiknya.
B. Orientasi
Moral
Kata moral berasal
dari bahasa Latin mos (jamak mores) yang berarti kebiasaan, adat
. Moral merupakan suatu standar salah atau benar bagi seseorang . Berns
mengemukakan bahwa moralitas mencakup mematuhi aturan sosial dalam kehidupan
sehari-hari dan conscience atau aturan personal seseorang untuk berinteraksi
dengan orang lain.[2]
Orientasi moral di identifikasikan
dengan moral position atau ketetapan hati, yaitu sesuatu yang dimiliki
seseorang terhadap suatu nilai moral yang didasari oleh aspek motivasi kognitif
(antisipasif seseorang terhadap resiko yang mungkin muncul jika dirinya
menentukan suatu hal) dan aspek motivasi afektif (emosi yang akan diakibatkan
dari suatu keputusan yang diambil seseorang).
Menurut
Hadiwardoyo, moral juga dapat diukur secara subyektif dan obyektif. Kata hati
atau hati nurani memberikan ukuran yang subyektif, adapun norma memberikan
ukuran yang obyektif yaitu, Apabila hati nurani ingin membisikan sesuatu yang
benar, maka norma akan membantu mencari kebaikan moral. Moral juga merupakan
sesuatu yang berkaitan dengan peraturan-peraturan masyarakat yang diwujudkan di
luar kawalan individu.[3]
C. Moralitas
dan Perkembangannya
Moralitas
merupakan pedoman yang dimiliki individu atau kelompok mengenai apa yang benar
dan salah berdasarkan standar moral. Moralitas dapat berasal dari sumber
tradisi atau adat, agama atau sebuah ideologi atau gabungan dari beberapa sumber.[4]
Moralitas memiliki tiga komponen:
a. Komponen
afektif/emosional
terdiri
dari berbagai jenis perasaan (seperti perasaan bersalah, malu, perhatian
terhadap perasaan orang lain, dll) yang meliputi tindakan benar dan salah yang
memotivasi pemikiran dan tindakan moral.
b. Komponen
kognitif merupakan pusat dimana seseorang melakukan konseptualtualisasi benar dan salah, dan
membuat keputusan tentang bagaimana seseorang berperilaku. Komponen kognitif
moralitas (moral reasoning) merupakan pikiran yang ditunjuk seseorang ketika
memutuskan berbagai tindakan yang benar dan salah.
c. Komponen
perilaku mencerminkan bagaimana seseorang sesungguhnya berperilaku ketika
mengalami godaan untuk berbohong, curang, atau melanggar aturan moral lainnya.
Komponen perilaku moralitas (moral behavior) merupakan tindakan yang konsisten
terhadap moral seseorang dalam situasi di mana mereka harus melanggarnya.
Menurut Kohlberg, bahwa perkembangan moral terdiri dari tiga
tingkatan yang setiap tingkatan memiliki dua tahap. Konsep kunci menurut
Kohlberg mengenai perkembangan moral adalah Internalisasi, yaitu perkembangan
moral berubah dari perilaku yang dikontrol secara eksternal menjadi perilaku
yang dikontrol oleh standard-standard dan prinsip-prinsip internal. Berikut
adalah tiga tahap perkembangan moral menurut Kohlberg :
Tingkat 1 (Pra-Konvensional)
1. Orientasi kepatuhan dan hukuman
2. rientasi minat pribadi (Apa
untungnya buat saya?)
Tingkat 2 (Konvensional)
1. Orientasi keserasian
interpersonal dan konformitas (Sikap anak baik)
2. Orientasi otoritas dan
pemeliharaan aturan sosial (Moralitas hukum dan aturan)
Tingkat 3 (Pasca-Konvensional)
1. Orientasi kontrak social
2. Prinsip etika universal (Principled
conscience)
D. Penalaran
Moral
Kohlberg mendefinisikan penalaran moral sebagai penilaian
nilai, penilaian sosial, dan juga penilaian terhadap kewajiban yang mengikat
individu dalam melakukan suatu tindakan. Penalaran moral dapat dijadikan
prediktor terhadap dilakukannya tindakan tertentu pada situasi yang melibatkan
moral. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Rest (1979) bahwa
penalaran moral adalah konsep dasar yang dimiliki individu untuk menganalisa
masalah sosial-moral dan menilai terlebih dahulu tindakan apa yang akan
dilakukannya.[5]
Menurut Kohlberg penalaran moral adalah suatau pemikiran
tentang masalah moral. Pemikiran itu merupakan prinsip yang dipakai dalam
menilai dan melakukan suatu tindakan dalam situasi moral. Penalaran moral
dipandang sebagai suatu struktur bukan isi. Jika penalaran moral dilihat
sebagai isi, maka sesuatu dikatakan baik atau buruk akan sangat tergantung pada
lingkungan sosial budaya tertentu, sehingga sifatnya akan sangat relatif.
Tetapi jika penalaran moral dilihat sebagai struktur, maka apa yang baik dan
buruk terkait dengan prinsip filosofis moralitas, sehingga penalaran moral
bersifat universal.
Penalaran moral inilah yang menjadi indikator dari tingkatan
atau tahap kematangan moral. Memperhatikan penalaran mengapa suatu tindakan
salah, akan lebih memberi penjelasan dari pada memperhatikan perilaku seseorang
atau bahkan mendengar pernyataannya bahwa sesuatu itu salah. Berdasarkan uraian
teori di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa penalaran moral adalah
kemampuan (konsep dasar) seseorang untuk dapat memutuskan masalah sosial-moral
dalam situasi kompleks dengan melakukan penilaian terlebih dahulu terhadap
nilai dan sosial mengenai tindakan apa yang akan dilakukannya.
Komponen penalaran moral
menjadi empat hal. Adapun empat komponen utama penalaran moral yang dikemukakan
oleh Rest,[6]
antara lain :
a. Menginterpretasi situasi dan
mengidentifikasi permasalahan moral (mencakup empati, berbicara selaras dengan
perannya, memperkirakan bagaimana masing-masing pelaku dalam situasi
terpengaruh oleh berbagai tindakan tersebut).
b. Memperkirakan apa yang seharusnya
dilakukan seseorang, merumuskan suatu rencana tindakan yang merujuk kepada
suatu standar moral atau suatu ide tertentu (mencakup konsep kewajaran &
keadilan, penalaran moral, penerapan nilai moral sosial).
c. Mengevaluasi berbagai perangkat
tindakan yang berkaitan dengan bagaimana caranya orang memberikan penilaian
moral atau bertentangan dengan moral, serta memutuskan apa yang secara aktual
akan dilakukan seseorang (mencakup proses pengambilan keputusan, model
integrasi nilai, dan perilaku mempertahankan diri).
E. Guru
Bermoral Adalah Guru berkualitas
Seorang
pendidik yang berkualitas bukan sekedar mencerdaskan anak didik saja, namun
menciptakan anak didik yang bermoral, berkarakter atau berakhlakul karimah.[7]
Pendidik merupakan orang yang paling menentukan dalam menciptakan kualitas
pendidikan yang baik. hal ini Sesuai “ UU No 14 tahun 2005 tentang guru dan
dosen, ada empat kompetensi yang harus dimiliki seorang pendidik yakni
kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional dan kompetensi sosial “.
Biasanya di sekolah-sekolah mendapati sebuah permasalahan seperti kebanyakan
siswa sempat mengeluhkan tentang pendidik, yakni guru yang tak pernah
berinteraksi (acuh tak acuh) dengan siswa, ada juga guru yang perangainya
dikenal galak.
Mendapati
keluhan itu, guru berkualitas adalah
guru yang saat menerangkan jelas, sabar saat mengajar, memberi inspirasi, tidak
memaksakan kehendak pada siswa, tidak segan menjelaskan ulang dan referensi
yang diwajibkannya baik, selalu on time dan rajin serta menguasaimateri.
sebaliknya, jika di dapati guru yang tak bermoral dan tidak berkualitas adalah
guru yang mengeluarkan kata-kata kasar, galak, judes, sensitif, cepat marah,
menjenuhkan, jarang masuk, tidak akrab dengan siswa dan tidak menguasai
strategi mengajar.
Untuk
menciptakan guru yang berkualitas
tentunya berawal dari proses pembentukan guru. Ada beberapa cara yang bisa
dilakukan untuk meningkatkan kualitas guru diantaranya yaitu dengan merekrut
calon guru yang berkualitas, memberikan pendidikan karakter kepada calon guru
(mahasiswa) dan yang sudah menjadi guru, serta adanya masa rolling teaching
bagi para calon guru yang akan menjadi guru.[8]
Adapun caranya sebagai berikut:
a. Merekrut
calon guru yang berkualitas dengan cara mengubah test seleksi masuk perguruan
tinggi untuk jurusan yang nantinya berprofesi sebagai tenaga pengajar atau
tenaga pendidik, test bisa dilakukan dengan beberapa tahap, yaitu
1). Calon mahasiswa yang mendaftar wajib membuat
tulisan isinya alasan kenapa calon mahasiswa memilih jurusan itu serta apa saja
yang akan calon mahasiswa lakukan ketika sudah menjadi guru atau tenaga
pengajar. kemudian calon mahasiswa yang lolos test tahap pertama akan mengikuti
test tahap ke dua.
2).
Mengikuti test tulis berisi soal-soal dasar serta. bertujuan untuk menjaring
mahasiswa yang berkualitas serta memiliki kepribadian yang baik.
3).
Calon mahasiswa yang telah lolos seleksi tahap kedua di panggil untuk melakukan
test wawancara yang dilakukan oleh perguruan tinggi terkait untuk mengetahui
potensi calon mahasiswa. Seleksi ini memang membutuhkan waktu dan proses yang
lebih panjang namun saya yakin bahwa dengan cara ini mahasiswa yang diterima
adalah mahasiswa terbaik yang nantinya akan menjadi guru yang berkarakter serta
berkualitas tinggi.
b. Memberikan
pendidikan pembentukan karakter kepada mahasiswa yang telah lolos seleksi,
materinya bisa berisi tentang mengenal diri sendiri, manajemen waktu,
menetapkan target, bersikap proaktif, menghargai perbedaan, tenggang rasa dan
lain sebagainya. Hal ini sangat penting sekali untuk membentuk karakter dan
kepribadian calon tenaga pendidik atau guru sehingga nantinya bisa menjadi
contoh teladan bagi para anak didiknya.
c. Mahasiswa
yang telah lulus dan mendapat gelar sebagai sarjana pendidikan ataupun orang
yang ingin berkarier sebagai tenaga pengajar diwajibkan untuk mengajar
dibeberapa tempat yaitu daerah terpencil dan daerah perkotaan dengan
menggunakan sistem rolling selama satu atau dua tahun. Hal ini bisa dilakukan
untuk membuka wawasan calon guru juga bertujuan agar calon guru tersebut
mempunyai pengalaman dan pengetahuan yang luas mengenai perbedaan kualitas
pendidikan anatara daerah dan perkotaan.[9]
Dengan sistem rolling selama satu atau dua tahun diharapkan calon guru mampu
memberikan pendidikan yang berkualitas dan memberikan pandangan mengenai
kondisi pendidikan baik dari segi kualitas, tenaga pengajar, maupun
infrastruktur kepada pemerintah sehingga nantinya proses evaluasi untuk
memperbaiki kualitas dan sistem pendidikan terus berjalan.
Dengan
menerapkan cara tersebut, mulai dari mengadakan seleksi yang ketat serta
pembelajaran karakter, disamping pelajaran kuliah kepada calon guru juga adanya
rolling teaching ini sehingga problem-problem yang terjadi di dunia pendidikan
khususnya di Indonesia bisa teratasi dengan baik.dan juga dengan memperbaiki
kualitas guru maka nantinya dapat menghasilkan siswa yang cerdas serta memiliki
moral yang terpuji.
[1] Hamid Darmadi, Dasar Konsep
Pendidikan Moral ( Bandung: Alfabeta, 2009). Hal 3
[2] Nurul Zuriah, Pendidikan
Moral dan budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan (Jakarta: Bumi Aksara,
2011). Hal 8
[3] Ibid, hal. 9
[4] Syaiful Bahri Djamarah, Guru
dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif (Jakarta: Rineka Cipta, 2005). Hal
12
[5] Hamid Darmadi, Dasar Konsep
Pendidikan Moral ( Bandung: Alfabeta, 2009). Hal 22
[6] Dharma Kesuma, Pendidikan
Karakter ( Bandung: Rosda Karya, 2012). Hal 18
[7] Asri budiningsih, Pembelajaran
Moral Berpijak pada Karakteristik Siswa dan Budayanya (Jakarta: Rineka
Cipta, 2004). Hal 26
[8] Ibid, Hal. 27
[9] Syaiful Bahri Djamarah, Guru
dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif (Jakarta: Rineka Cipta, 2005). Hal
25
Tidak ada komentar:
Posting Komentar