trima kasih sudah mampir di blog saya dan jangan bosan mampir yaaa

Minggu, 01 Juni 2014

Kecerdasan Moral Guru



A.    Pengertian Kecerdasan Moral
Kecerdasan (Intelligence) adalah kemampuan atau kekuatan untuk melakukan sesuatu dan memecahkan problem yang dihadapi. Ciri-ciri umum seseorang memimiliki kecerdasan, yaitu: mampu memahami dan menyelesaikan problem degan cepat, memiliki kemampuan daya ingat yang kuat, kreatifitas tinggi, serta imajinasi yang berkembang.[1]
Kecerdasan moral adalah kemampuan untuk merenungkan mana yang benar dan mana yang salah, dengan menggunakan sumber emosional dan intelektual pikiran manusia. Indikator kecerdasan moral adalah bagaimana seseoarang memiliki pengetahuan tentang moral yang benar dan yang buruk, kemudian ia mampu menginternalisasikan moral yang benar ke dalam kehidupan nyata dan menghindarkan diri dari moral yang buruk.

Seorang guru yang memilki kecerdasan moral, akan merefleksikan pengetahuannya tentang moral yang benar kedalam kehidupan nyata, menghindarkan diri dari moral yang buruk, serta mampu memberi teladan yang baik bagi anak didiknya.

B.     Orientasi Moral
Kata moral berasal dari bahasa Latin mos (jamak mores) yang berarti kebiasaan, adat . Moral merupakan suatu standar salah atau benar bagi seseorang . Berns mengemukakan bahwa moralitas mencakup mematuhi aturan sosial dalam kehidupan sehari-hari dan conscience atau aturan personal seseorang untuk berinteraksi dengan orang lain.[2]
Orientasi moral di identifikasikan dengan moral position atau ketetapan hati, yaitu sesuatu yang dimiliki seseorang terhadap suatu nilai moral yang didasari oleh aspek motivasi kognitif (antisipasif seseorang terhadap resiko yang mungkin muncul jika dirinya menentukan suatu hal) dan aspek motivasi afektif (emosi yang akan diakibatkan dari suatu keputusan yang diambil seseorang).
Menurut Hadiwardoyo, moral juga dapat diukur secara subyektif dan obyektif. Kata hati atau hati nurani memberikan ukuran yang subyektif, adapun norma memberikan ukuran yang obyektif yaitu, Apabila hati nurani ingin membisikan sesuatu yang benar, maka norma akan membantu mencari kebaikan moral. Moral juga merupakan sesuatu yang berkaitan dengan peraturan-peraturan masyarakat yang diwujudkan di luar kawalan individu.[3]

C.     Moralitas dan Perkembangannya
Moralitas merupakan pedoman yang dimiliki individu atau kelompok mengenai apa yang benar dan salah berdasarkan standar moral. Moralitas dapat berasal dari sumber tradisi atau adat, agama atau sebuah ideologi atau gabungan dari beberapa sumber.[4] Moralitas memiliki tiga komponen:
a.       Komponen afektif/emosional
terdiri dari berbagai jenis perasaan (seperti perasaan bersalah, malu, perhatian terhadap perasaan orang lain, dll) yang meliputi tindakan benar dan salah yang memotivasi pemikiran dan tindakan moral.
b.      Komponen kognitif merupakan pusat dimana seseorang melakukan    konseptualtualisasi benar dan salah, dan membuat keputusan tentang bagaimana seseorang berperilaku. Komponen kognitif moralitas (moral reasoning) merupakan pikiran yang ditunjuk seseorang ketika memutuskan berbagai tindakan yang benar dan salah.
c.       Komponen perilaku mencerminkan bagaimana seseorang sesungguhnya berperilaku ketika mengalami godaan untuk berbohong, curang, atau melanggar aturan moral lainnya. Komponen perilaku moralitas (moral behavior) merupakan tindakan yang konsisten terhadap moral seseorang dalam situasi di mana mereka harus melanggarnya.
Menurut Kohlberg,  bahwa perkembangan moral terdiri dari tiga tingkatan yang setiap tingkatan memiliki dua tahap. Konsep kunci menurut Kohlberg mengenai perkembangan moral adalah Internalisasi, yaitu  perkembangan moral berubah dari perilaku yang dikontrol secara eksternal menjadi perilaku yang dikontrol oleh standard-standard dan prinsip-prinsip internal. Berikut adalah tiga tahap perkembangan moral menurut Kohlberg :
Tingkat 1 (Pra-Konvensional)
1. Orientasi kepatuhan dan hukuman
2. rientasi minat pribadi (Apa untungnya buat saya?)
Tingkat 2 (Konvensional)
1. Orientasi keserasian interpersonal dan konformitas (Sikap anak baik)
2. Orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan sosial (Moralitas hukum dan aturan)
Tingkat 3 (Pasca-Konvensional)
1. Orientasi kontrak social
2. Prinsip etika universal (Principled conscience)

D.    Penalaran Moral
Kohlberg mendefinisikan penalaran moral sebagai penilaian nilai, penilaian sosial, dan juga penilaian terhadap kewajiban yang mengikat individu dalam melakukan suatu tindakan. Penalaran moral dapat dijadikan prediktor terhadap dilakukannya tindakan tertentu pada situasi yang melibatkan moral. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Rest (1979) bahwa penalaran moral adalah konsep dasar yang dimiliki individu untuk menganalisa masalah sosial-moral dan menilai terlebih dahulu tindakan apa yang akan dilakukannya.[5]
Menurut Kohlberg penalaran moral adalah suatau pemikiran tentang masalah moral. Pemikiran itu merupakan prinsip yang dipakai dalam menilai dan melakukan suatu tindakan dalam situasi moral. Penalaran moral dipandang sebagai suatu struktur bukan isi. Jika penalaran moral dilihat sebagai isi, maka sesuatu dikatakan baik atau buruk akan sangat tergantung pada lingkungan sosial budaya tertentu, sehingga sifatnya akan sangat relatif. Tetapi jika penalaran moral dilihat sebagai struktur, maka apa yang baik dan buruk terkait dengan prinsip filosofis moralitas, sehingga penalaran moral bersifat universal.
Penalaran moral inilah yang menjadi indikator dari tingkatan atau tahap kematangan moral. Memperhatikan penalaran mengapa suatu tindakan salah, akan lebih memberi penjelasan dari pada memperhatikan perilaku seseorang atau bahkan mendengar pernyataannya bahwa sesuatu itu salah. Berdasarkan uraian teori di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa penalaran moral adalah kemampuan (konsep dasar) seseorang untuk dapat memutuskan masalah sosial-moral dalam situasi kompleks dengan melakukan penilaian terlebih dahulu terhadap nilai dan sosial mengenai tindakan apa yang akan dilakukannya.
Komponen penalaran moral menjadi empat hal. Adapun empat komponen utama penalaran moral yang dikemukakan oleh Rest,[6] antara lain :
a.       Menginterpretasi situasi dan mengidentifikasi permasalahan moral (mencakup empati, berbicara selaras dengan perannya, memperkirakan bagaimana masing-masing pelaku dalam situasi terpengaruh oleh berbagai tindakan tersebut).
b.      Memperkirakan apa yang seharusnya dilakukan seseorang, merumuskan suatu rencana tindakan yang merujuk kepada suatu standar moral atau suatu ide tertentu (mencakup konsep kewajaran & keadilan, penalaran moral, penerapan nilai moral sosial).
c.       Mengevaluasi berbagai perangkat tindakan yang berkaitan dengan bagaimana caranya orang memberikan penilaian moral atau bertentangan dengan moral, serta memutuskan apa yang secara aktual akan dilakukan seseorang (mencakup proses pengambilan keputusan, model integrasi nilai, dan perilaku mempertahankan diri).
E.     Guru Bermoral Adalah Guru berkualitas
Seorang pendidik yang berkualitas bukan sekedar mencerdaskan anak didik saja, namun menciptakan anak didik yang bermoral, berkarakter atau berakhlakul karimah.[7] Pendidik merupakan orang yang paling menentukan dalam menciptakan kualitas pendidikan yang baik. hal ini Sesuai “ UU No 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen, ada empat kompetensi yang harus dimiliki seorang pendidik yakni kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional dan kompetensi sosial “. Biasanya di sekolah-sekolah mendapati sebuah permasalahan seperti kebanyakan siswa sempat mengeluhkan tentang pendidik, yakni guru yang tak pernah berinteraksi (acuh tak acuh) dengan siswa, ada juga guru yang perangainya dikenal galak.
Mendapati keluhan itu, guru berkualitas  adalah guru yang saat menerangkan jelas, sabar saat mengajar, memberi inspirasi, tidak memaksakan kehendak pada siswa, tidak segan menjelaskan ulang dan referensi yang diwajibkannya baik, selalu on time dan rajin serta menguasaimateri. sebaliknya, jika di dapati guru yang tak bermoral dan tidak berkualitas adalah guru yang mengeluarkan kata-kata kasar, galak, judes, sensitif, cepat marah, menjenuhkan, jarang masuk, tidak akrab dengan siswa dan tidak menguasai strategi mengajar.
Untuk menciptakan  guru yang berkualitas tentunya berawal dari proses pembentukan guru. Ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kualitas guru diantaranya yaitu dengan merekrut calon guru yang berkualitas, memberikan pendidikan karakter kepada calon guru (mahasiswa) dan yang sudah menjadi guru, serta adanya masa rolling teaching bagi para calon guru yang akan menjadi guru.[8] Adapun caranya sebagai berikut:
a.       Merekrut calon guru yang berkualitas dengan cara mengubah test seleksi masuk perguruan tinggi untuk jurusan yang nantinya berprofesi sebagai tenaga pengajar atau tenaga pendidik, test bisa dilakukan dengan beberapa tahap, yaitu
1). Calon mahasiswa yang mendaftar wajib membuat tulisan isinya alasan kenapa calon mahasiswa memilih jurusan itu serta apa saja yang akan calon mahasiswa lakukan ketika sudah menjadi guru atau tenaga pengajar. kemudian calon mahasiswa yang lolos test tahap pertama akan mengikuti test tahap ke dua.
2). Mengikuti test tulis berisi soal-soal dasar serta. bertujuan untuk menjaring mahasiswa yang berkualitas serta memiliki kepribadian yang baik.
3). Calon mahasiswa yang telah lolos seleksi tahap kedua di panggil untuk melakukan test wawancara yang dilakukan oleh perguruan tinggi terkait untuk mengetahui potensi calon mahasiswa. Seleksi ini memang membutuhkan waktu dan proses yang lebih panjang namun saya yakin bahwa dengan cara ini mahasiswa yang diterima adalah mahasiswa terbaik yang nantinya akan menjadi guru yang berkarakter serta berkualitas tinggi.
b.      Memberikan pendidikan pembentukan karakter kepada mahasiswa yang telah lolos seleksi, materinya bisa berisi tentang mengenal diri sendiri, manajemen waktu, menetapkan target, bersikap proaktif, menghargai perbedaan, tenggang rasa dan lain sebagainya. Hal ini sangat penting sekali untuk membentuk karakter dan kepribadian calon tenaga pendidik atau guru sehingga nantinya bisa menjadi contoh teladan bagi para anak didiknya.
c.       Mahasiswa yang telah lulus dan mendapat gelar sebagai sarjana pendidikan ataupun orang yang ingin berkarier sebagai tenaga pengajar diwajibkan untuk mengajar dibeberapa tempat yaitu daerah terpencil dan daerah perkotaan dengan menggunakan sistem rolling selama satu atau dua tahun. Hal ini bisa dilakukan untuk membuka wawasan calon guru  juga bertujuan agar calon guru tersebut mempunyai pengalaman dan pengetahuan yang luas mengenai perbedaan kualitas pendidikan anatara daerah dan perkotaan.[9] Dengan sistem rolling selama satu atau dua tahun diharapkan calon guru mampu memberikan pendidikan yang berkualitas dan memberikan pandangan mengenai kondisi pendidikan baik dari segi kualitas, tenaga pengajar, maupun infrastruktur kepada pemerintah sehingga nantinya proses evaluasi untuk memperbaiki kualitas dan sistem pendidikan terus berjalan.

Dengan menerapkan cara tersebut, mulai dari mengadakan seleksi yang ketat serta pembelajaran karakter, disamping pelajaran kuliah kepada calon guru juga adanya rolling teaching ini sehingga problem-problem yang terjadi di dunia pendidikan khususnya di Indonesia bisa teratasi dengan baik.dan juga dengan memperbaiki kualitas guru maka nantinya dapat menghasilkan siswa yang cerdas serta memiliki moral yang terpuji.


[1] Hamid Darmadi, Dasar Konsep Pendidikan Moral ( Bandung: Alfabeta, 2009). Hal 3
[2] Nurul Zuriah, Pendidikan Moral dan budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan (Jakarta: Bumi Aksara, 2011). Hal 8
[3] Ibid, hal. 9
[4] Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif (Jakarta: Rineka Cipta, 2005). Hal 12
[5] Hamid Darmadi, Dasar Konsep Pendidikan Moral ( Bandung: Alfabeta, 2009). Hal 22
[6] Dharma Kesuma, Pendidikan Karakter ( Bandung: Rosda Karya, 2012). Hal 18
[7] Asri budiningsih, Pembelajaran Moral Berpijak pada Karakteristik Siswa dan Budayanya (Jakarta: Rineka Cipta, 2004). Hal 26
[8] Ibid, Hal. 27
[9] Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif (Jakarta: Rineka Cipta, 2005). Hal 25

Tidak ada komentar:

Posting Komentar